HIV / AIDS
I HIV/AIDS
1.1 Definisi
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune
Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala
dan infeksi (atau: sindrom)
yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan
tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus
lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV,
dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus
(atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor.
Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV
dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan
kulit dalam (membran mukosa)
atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan
vagina, cairan preseminal,
dan air susu ibu.
Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim
(vaginal, anal,
ataupun oral), transfusi
darah, jarum suntik
yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Para ilmuwan
umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.
Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6
juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang
sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981.
Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta
jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari
570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini
terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus
sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian
dan parahnya
infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua Negara.
Hukuman sosial
bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita
penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut
tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam
merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
II Gejala dan
komplikasi
Gejala-gejala utama AIDS.
Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi
dan parasit,
yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi
oportunistik umum didapati pada
penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh.
Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma
Kaposi, kanker
leher rahim, dan kanker sistem
kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya
penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat
(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien
AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di
wilayah geografis tempat hidup pasien.
2.1 Penyakit
paru-paru utama
Pneumonia
pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada
orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh
yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab
penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii.
Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan
rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan
indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi
tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4
kurang dari 200 per µL.
Tuberkulosis
(TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui
rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah
diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui
terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun
munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya,
namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV
paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel
per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi
HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh
lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak
spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang
menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang,
saluran kemih dan saluran
pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa
regional), dan sistem syaraf pusat.
Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat
munculnya penyakit ekstrapulmoner.
2.2 Penyakit
saluran pencernaan utama
Esofagitis
adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus),
yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV,
penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis)
atau virus (herpes
simpleks-1 atau virus
sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan
oleh mikobakteria,
meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat
dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain
infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter,
dan Escherichia coli),
serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium
avium complex, dan virus
sitomegalo (CMV) yang merupakan
penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare
terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani
HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain
itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik
yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium
difficile). Pada stadium akhir
infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran
pencernaan menyerap nutrisi, serta
mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan
dengan HIV.
2.3 Penyakit syaraf
dan kejiwaan utama
Infeksi
HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf
(neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas
sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari
penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya
menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis),
namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata
dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges
(membran yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus
neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala,
lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan
dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif
adalah penyakit demielinasi,
yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin)
yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak
penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC,
yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan
menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana
yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan
menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu
sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS
adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik)
yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan
imun oleh makrofag
dan mikroglia
pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.
Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif,
perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi.
Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan
tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di
negara-negara Barat adalah sekitar 10-20% namun di India hanya terjadi pada 1-2%
pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan
subtipe HIV di India.
2.4 Kanker dan
tumor ganas (malignan)
Sarkoma
Kaposi
Pasien
dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA
penyebab mutasi genetik;
yaitu terutama virus
Epstein-Barr (EBV), virus herpes
Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma
manusia (HPV).
Sarkoma
Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981
adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh
virus dari subfamili gammaherpesvirinae,
yaitu virus
herpes manusia-8 yang juga disebut virus
herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk
bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut,
saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker
getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B)
adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah
bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's
lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse
large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer,
lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali
merupakan perkiraan kondisi (prognosis)
yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini
sebagian besar disebabkan oleh virus
Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma
Kaposi.
Kanker
leher rahim pada wanita yang terkena
HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien
yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, kanker
usus besar bawah (rectum), dan
kanker anus.
Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara
dan kanker usus besar (colon),
yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat
dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan
dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab
kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
2.5 Infeksi
oportunistik lainnya
Pasien
AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan
dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium
avium-intracellulare
dan virus sitomegalo.
Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis)
seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis
sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan
kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium
marneffei, atau disebut Penisiliosis,
kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis
dan kriptokokosis)
pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
III Masalah yang
dihadapi
3.1 Stigma
Ryan White
sebagai model poster HIV. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan alasan terinfeksi
HIV.
Hukuman
sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap
AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan,
penolakan, diskriminasi,
dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba
HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan
kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi
HIV.
Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah
mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes
mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah
suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan
menjadikan meluasnya penyebaran HIV.
Stigma AIDS lebih jauh
dapat dibagi menjadi tiga kategori:
- Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.
- Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.
- Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
Stigma AIDS sering
diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran,
dan penggunaan narkoba melalui suntikan.
Di
banyak negara maju,
terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas,
yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya
sikap-sikap anti homoseksual. Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan
antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan
terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.
3.2 Dampak ekonomi
Perubahan angka harapan hidup di beberapa
negara di Afrika. Botswana Zimbabwe Kenya Afrika Selatan Uganda
HIV
dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia
dengan kemampuan produksi (human capital). Tanpa nutrisi
yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang,
orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak
dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai.
Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di
daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak
anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.
Semakin
tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan
mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang
lebih sedikit ini akan didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman
kerja yang lebih sedikit sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya
cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit
juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan
melemahkan mekanisme produksi dan investasi
sumberdaya manusia (human capital) pada masyarakat, yaitu akibat
hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan
meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak,
mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang
tidak berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan
memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib
pajak akan semakin terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk
penanganan orang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit),
penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini
terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa
menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada
pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.
Pada tingkat rumah tangga,
AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan
oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya
pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan
menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di Pantai
Gading menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan
pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan medis
daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.
3.3 Penyangkalan
atas AIDS
Sekelompok
kecil aktivis, diantaranya termasuk beberapa ilmuwan yang tidak meneliti AIDS,
mempertanyakan tentang adanya hubungan antara HIV dan AIDS, keberadaan HIV itu
sendiri, serta kebenaran atas percobaan dan metode perawatan yang digunakan
untuk menanganinya. Klaim mereka telah diperiksa dan secara luas ditolak oleh
komunitas ilmiah,[120]
walaupun terus saja disebarkan melalui Internet
dan sempat memiliki pengaruh politik di Afrika Selatan
melalui mantan presiden Thabo Mbeki,
yang menyebabkan pemerintahnya disalahkan atas respon yang tidak efektif
terhadap epidemik AIDS di negara tersebut.
IV Penyebab
HIV yang baru memperbanyak
diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada
permukaan limfosit
setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop
elektron.
AIDS
merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi
HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel
T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga,
dan sel
dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara
langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar
sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+
hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter
(µL) darah,
maka kekebalan di tingkat sel
akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut
HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi
HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T
CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa
terapi
antiretrovirus, rata-rata lamanya
perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan
rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun
demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi,
yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya,
diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi
kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya memiliki
kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih
berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap
perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis,
juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik
orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara
alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan
berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit
klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan
dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu
kemampuan penderita bertahan hidup.
4.1 Penularan
seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif
tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa
pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan
seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat
masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan
sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi
HIV.
Penyakit
menular seksual meningkatkan risiko
penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok
alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit
dan makrofaga)
pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa,
dan Amerika
Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat
kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid.
Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya
penyakit menular seksual seperti kencing nanah,
infeksi chlamydia,
dan trikomoniasis
yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan
seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai
tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus
plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil
pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA
HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita
lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta
fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit
seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus
lain yang lebih mematikan.
4.2 Kontaminasi
patogen melalui darah
Jalur
penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah
dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe)
yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab
penyakit (patogen),
tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B
dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi
baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik
Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure
prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat
lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja
laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang.
Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah
dan tindik tubuh. Kewaspadaan
universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika
Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak
mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara
ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh
sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di
dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui
fasilitas kesehatan.
Resiko
penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia
tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10%
infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
4.3 Penularan masa
perinatal
Transmisi
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero)
selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar,
tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko
infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban
virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui
meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
V Pencegahan
Perkiraan risiko masuknya
HIV per aksi,
menurut rute paparan |
||
Rute paparan
|
Perkiraan infeksi
per 10.000 paparan dengan sumber yang terinfeksi |
|
Transfusi darah
|
9.000
|
|
Persalinan
|
2.500
|
|
Penggunaan jarum suntik bersama-sama
|
67
|
|
Hubungan seks anal reseptif*
|
50
|
|
Jarum pada kulit
|
30
|
|
Hubungan seksual reseptif*
|
10
|
|
Hubungan seks anal insertif*
|
6,5
|
|
Hubungan seksual insertif*
|
5
|
|
Seks oral reseptif*
|
1
|
|
Seks oral insertif*
|
0,5
|
|
*
tanpa penggunaan kondom
§ sumber merujuk kepada seks oral yang dilakukan kepada laki-laki |
Tiga
jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan
seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau
jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode
sekitar kelahiran (periode perinatal).
Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata
dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi
dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara
umum dapat diabaikan.
5.1 Hubungan seksual
Mayoritas
infeksi HIV berasal dari hubungan seksual
tanpa pelindung
antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual
adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom
pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki
berbahan lateks,
jika digunakan dengan benar tanpa pelumas
berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya
teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara
seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan
bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega,
dan lemak babi
tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat
melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar
minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom wanita
adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.
Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung
terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita,
hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap
hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi
pencegahan HIV yang penting.
Penelitian
terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan
penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum
terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal
dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di
Eropa
dan Amerika
Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas
anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah
mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi
atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah
menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di
negara-negara maju.
Pada
bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji
acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat
laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika
sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara
yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan
sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat.
Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada
laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga
mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
Pemerintah
Amerika Serikat dan berbagai organisasi
kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena
HIV melalui hubungan seksual. Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:
“
|
Anda
jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom. |
”
|
5.2 Kontaminasi
cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang
mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika
menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan
AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya
yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik,
kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi
tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas
kesehatan dan program
penukaran jarum. Di sejumlah negara maju,
jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat
penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan
mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep
dokter.
5.3
Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan
bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula
mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child
transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat
dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang
terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika
hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan
dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera
mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di
bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak;
630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga
kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
VI Penanganan
Abacavir – Nucleoside analog reverse
transcriptase inhibitor (NARTI atau NRTI)
Struktur
kimia Abacavir
Sampai saat ini tidak ada vaksin
atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya
yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan
virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak
dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure
prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal
empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping
yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual,
dan lelah.
6.1 Terapi
antivirus
Penanganan
infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly
active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat
bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996,
yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease
inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa
kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari
paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease
inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI). Karena penyakit
HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka
rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang
dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang
dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus,
kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu
memulai perawatan awal.
Perawatan
HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam
darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun
menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten
terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula,
dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi
HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami
perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga
terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas)
dan tingkat kematian (mortalitas)
karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi
dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan
selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.
Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12
tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima
puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini
karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi
antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang
resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi
antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh
manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak
taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial
yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan
sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks,
karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan,
dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin . Berbagai efek samping yang
juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan
insulin, peningkatan risiko sistem
kardiovaskular, dan kelainan
bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Obat anti-retrovirus
berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki
akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.
6.2 Penanganan
eksperimental dan saran
Telah
terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik
global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan
lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak
membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian,
HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
Beragam
penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping
obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan
penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya
resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah
pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani
pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi
atas hepatitis A
dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam
berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang
besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis
dan kriptokokus meningitis
yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
6.3 Pengobatan
alternatif
Berbagai
bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah
arah perkembangan penyakit. Akupunktur
telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi
(peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun
tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek
obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman
obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah
kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.
Beberapa
data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin
dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa,
meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas)
akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik.
Suplemen vitamin A
pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium
dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui
terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi
pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak
dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan
terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit
efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan
kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari
beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting
dari pemakaiannya.
Namun
oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia
pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar
menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin. Hormon tiroksin
dikenal dapat meningkatkan laju
metabolisme basal sel
eukariota dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.
Comments
Post a Comment