GAMBARAN UMUM SISTEM PERLINDUNGAN SOSIAL YANG ADA DI INDONESIA

II.                GAMBARAN UMUM SISTEM PERLINDUNGAN DAN JAMINAN SOSIAL YANG ADA DI INDONESIA

Skema perlindungan dan jaminan sosial, dasar hukum, cakupan dan kelembagaan serta kemungkinan untuk dikaitkan dengan NIK

Gambaran umum sistem perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia diawali oleh adanya beberapa permasalahan pokok, yaitu, pertama, belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat”. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia. Misalnya, belum adanya perlindungan dan jaminan sosial bagi pekerja sektor informal. Masalah kedua adalah belum adanya satu peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan penanganan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih. Contohnya – asuransi kesehatan - di-cover oleh PT. Jamsostek, PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dan yang terakhir adalah, bahwa skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas.
Secara garis besar, berikut ini diuraikan gambaran umum tentang perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah mencakup:

1.                  Pengertian

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini dikenali banyak pengertian/definisi tentang perlindungan dan jaminan sosial. Misalnya dalam UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, dinyatakan bahwa;

“Jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi WN yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial”

Sementara itu, dalam UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, disebutkan bahwa;

“Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu UU, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat”

Berdasarkan diskusi yang berkembang, telaah referensi, dan dengan didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, ternyata pengertian jaminan sosial dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance).
Dalam asuransi sosial, seperti halnya konsep asuransi pada umumnya, namun dalam hal ini bersifat “sosial”, maka besarnya premi merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu pemerintah atau pengusaha) dan pekerja (PNS atau pegawai) – yang mempunyai hubungan kerja. Sedangkan bantuan sosial, berupa “bantuan” dalam bentuk, misalnya, block grant  atau emergency fund  dengan tujuan sosial.
            Dengan mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka yang dapat digolongkan sebagai asuransi sosial yang ada di Indonesia adalah: asuransi kesehatan (Askes), asuransi bagi anggota TNI/Polri – dulu ABRI (Asabri), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), asuransi kecelakaan (Jasa Raharja), asuransi sosial (masih tahap uji coba oleh Depsos), dan tabungan asuransi pensiun (Taspen). Sementara itu, yang dapat digolongkan sebagai bantuan sosial adalah: jaminan kesejahteraan sosial, baik yang bersifat permanen, bagi lanjut usia terlantar dan cacat ganda terlantar (masyarakat rentan), maupun yang bersifat sementara (emergency) bagi korban bencana alam dan bencana sosial; bantuan dana pendidikan berupa beasiswa melalui skema Jaring Pengaman Sosial (JPS) bagi murid dari keluarga miskin; bantuan dana kesehatan berupa Kartu Sehat bagi penduduk miskin; bantuan modal usaha, misalnya dalam bentuk tabungan (misalnya Tabungan Keluarga Sejahtera – Takesra), maupun dalam bentuk kredit mikro (misalnya Kredit Usaha Keluarga Sejahtera – Kukesra) bagi keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I (pengelompokan keluarga oleh BKKBN).

2.                  Aspek hukum

Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih bersifat parsial dan belum terpadu. Meskipun Pembukaan UUD 1945, dan beberapa pasal yang terdapat didalamnya, misalnya Pasal 27 (2), Pasal 31 (1), Pasal 34 (1), dan Pasal 34 (2) hasil amandemen UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS), namun landasan hukum bagi pelaksanaan operasional untuk seluruh skema perlindungan dan jaminan sosial adalah masih berbeda-beda. Misalnya, jaminan sosial di bidang tenaga kerja dilandasi dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang mencakup Jaminan Hari Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan Pemeliharaan Kesehatan bagi pegawai swasta, melalui PT. Jamsostek. Sementara itu, jaminan kesehatan bagi PNS melalui PT Askes dilandasi dengan UU No. 2 Tahun 1992 dan PP No. 69 Tahun 1991. Selanjutnya, jaminan hari tua dan pensiun bagi PNS melalui PT Taspen dilandasi dengan UU No. 43 Tahun 1999; dan bagi TNI/Polri melalui PT Asabri dilandasi dengan UU No. 6 Tahun 1966.

Dengan adanya produk-produk hukum yang bervariasi, mengakibatkan banyaknya lembaga yang melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial. Hal ini berlawanan dengan hukum bilangan besar (law of the large number), yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka sebaran resiko (risk distribution) akan lebih merata dan beban yang dipikul masing-masing peserta (premi) makin kecil.

3.                  Target beneficiaries

Jaminan sosial hendaknya diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia sesuai dengan hak warga negara dan HAM. Meskipun demikian, terdapat pemikiran bahwa dengan keterbatasan keuangan negara, maka: (1) asuransi sosial diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia, sedangkan (2) bantuan sosial hanya bagi kelompok yang membutuhkan (misalnya penduduk miskin, rentan, dan korban bencana).

4.                  Cakupan Manfaat

Cakupan manfaat yang diperoleh melalui asuransi sosial meliputi: jaminan kesehatan, jaminan hari tua (JHT), pensiun, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan pemutusan hubungan kerja (JPHK), dan santunan kematian. Cakupan manfaat ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di sektor formal (swasta – yang memiliki hubungan kerja), PNS, dan TNI serta Polri. Sedangkan, mereka yang bekerja di sektor informal belum dapat menikmati manfaat asuransi sosial ini. Padahal kita mengetahui, bahwa masih banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal.
Sementara itu, cakupan manfaat yang diperoleh melalui bantuan sosial meliputi: bantuan biaya kesehatan (misalnya melalui kartu sehat bagi masyarakat miskin), bantuan biaya pendidikan (misalnya melalui pemberian beasiswa bagi murid dari keluarga miskin), bantuan modal usaha (misalnya melalui dana bergulir Takesra/Kukesra bagi peserta KB dari keluarga Pra KS dan KS I), dan bantuan akibat bencana (misalnya melalui dana sosial bagi korban bencana alam).

5.                  Pendanaan (Premi)

5.1.            Asuransi sosial.

Pembiayaan premi dengan prinsip sharing baik oleh pekerja maupun oleh pemberi kerja (pemerintah atau pengusaha). Beberapa negara (misalnya Thailand) dapat memanfaatkan resources dari pajak secara langsung. Bagi perusahaan yang ditunjuk melaksanakan jaminan sosial, deviden perusahaan seyogyanya dikembalikan kepada para pembayar premi, misalnya melalui peningkatan pelayanan (sosial, peningkatan kualitas pelayanan, dll). Selama ini, BUMN pengelola asuransi (seperti PT Askes, PT. Jamsostek, dan PT Jasa Raharja) mengeluhkan adanya keharusan menyerahkan deviden kepada pemerintah. Khusus untuk PT Taspen, mengeluhkan tidak adanya sharing dari Pemerintah selaku pemberi kerja (premi hanya dibayar oleh PNS), sehingga nilai jaminan hari tua dan pensiun yang diperoleh PNS relatif kecil, karena pembayar premi hanya oleh PNS.
Pengumpulan dana  dari premi peserta diharapkan akan menjadi salah satu sumber tabungan nasional (bagian dari APBN) yang dapat dimanfaatkan sebagai dana pembangunan. Contoh yang terjadi di Malaysia adalah penggunaan dana Tabungan Nasional Malaysia (yang diperoleh dari dana premi asuransi sosial) sebagai salah satu alternatif sumber dana pembangunan ketika Malaysia mengalami krisis ekonomi beberapa waktu lalu.
            Khusus untuk pekerja sektor informal, perlu dipikirkan pengembangan skema perlindungan dan jaminan sosialnya.

            Bantuan sosial.

Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh penduduk (miskin; rentan – lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak jalanan, komunitas adat terpencil; dan korban bencana). Di samping itu, banyak instansi pemerintah yang belum melaksanakan skema ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang bersumber dari dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan pengembangan pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal, misalnya melalui insentif pajak. Contohnya: pemberdayaan zakat, infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan dharma (Hindu), sehingga pembayar zakat, perpuluhan, dan dharma tidak perlu dikenakan pajak penghasilan. Di samping itu, bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, perlu terus diperkuat. Misalnya: Banjar di Kabupaten Gianyar, Bali – yang terkait erat dengan desa adat – melalui iuran dana kesehatan untuk membantu masyarakat desa adat yang sakit; Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin) di Kabupaten Banyumas, Jateng – melalui sistem tabungan untuk dana kesehatan terutama untuk biaya persalinan pada saat ibu melahirkan; Bapak Angkat di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk mutual benefit antara pengusaha (dalam bentuk kemudahan perijinan dan fasilitas internet) dengan murid dari keluarga miskin (dalam bentuk pelatihan keterampilan/ kerajinan); dokter kontrak di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk iuran wajib kesehatan yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat muslim kepada dokter swasta dengan menggunakan sistem kontrak.  

6.                  Kelembagaan

SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional yang terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal. Seyogyanya pengelolaan SPJS dilakukan oleh satu lembaga (centralized) yang independen, yang antara lain mempunyai otoritas untuk mengkoordinir, memantau pelaksanaan program, mengelola dana dan investasi, serta melakukan pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan hendaknya adalah economic scale dan cost-effectivenes. Dengan otonomi daerah, kelembagaan yang menangani SPJS diharapkan juga akan melibatkan partisipasi Pemda (termasuk kelembagaan, aspek hukum, dan keuangan). Kelembagaan SPJS, selain independen, juga harus merupakan lembaga yang non-profit oriented.


7.                  Sistem Jaminan Sosial Nasional

Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan keempat UUD 1945 tanggal 10 Agustus 2002, dengan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2), tercantum bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka mempersiapkan konsepsi dan penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, melalui Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu Presiden Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan pakar di bidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung jawab Tim SJSN dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan, Mekanisme/budget, dan Pembentukan Program Jaminan Sosial.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep asuransi sosial, dan berdasarkan pada asas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin.
Diharapkan di masa yang akan datang, Indonesia mempunyai suatu sistem Jaminan sosial (social security), yang di dalamnya mencakup social insurance dan social assistance, yang dilindungi Undang-Undang.

Saat ini, Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk persiapan RUU Sistem Jaminan Sosial. Diharapkan RUU SJSN dapat dirampungkan sebelum bulan Desember 2002.

8.                  Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan)

Sistem dan software administrasi kependudukan yang saat ini sedang dikembangkan oleh Ditjen. Administrasi Kependudukan – Depdagri (dengan daerah uji coba di Kota Menado – Sulut) diharapkan akan menjadi modal utama sistem komputerisasi SPJS di masa datang. Dalam sistem ini, setiap penduduk yang baru lahir akan memperoleh satu nomor penduduk yang tunggal atau unique. Dengan demikian, nomor ini nantinya akan merupakan semacam social security number bagi setiap penduduk. Dengan memiliki satu nomor penduduk yang tunggal atau unique, maka akan mempermudah dalam pengelolaan SPJS, khususnya dalam penentuan target beneficiaries dan perkiraan pendanaan (yang akan dicover oleh pemerintah).
Untuk masing-masing bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia akan diuraikan pada masing-masing Bab berikut ini.

V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN

Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor kesehatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial


1.                Latar belakang

Kesehatan yang baik dan prima memungkinkan seseorang hidup lebih produktif baik secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, kesehatan menjadi salah satu hak dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, agar setiap individu dapat berkarya dan menikmati kehidupan yang bermartabat.
Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal. Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan, menyebabkan tidak semua anggota masyarakat mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah. Tanpa sistem yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan semakin banyak masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang mereka butuhkan.
Dengan kecenderungan meningkatnya biaya hidup, termasuk biaya pemeliharaan kesehatan, diperkirakan beban masyarakat terutama penduduk berpenghasilan rendah akan bertambah berat. Biaya kesehatan yang meningkat akan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, terutama bila pembiayaannya harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistem fee for services.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Namun, apabila hendak ikut asuransi, tidak banyak masyarakat yang mampu membayar biaya premi. Sebagai contoh, pada tahun 1995, biaya rawat inap pasien di rumah sakit selama lima hari menghabiskan 1,4 kali rata-rata pendapatan sebulan penduduk DKI Jakarta. Tahun 1998 biaya ini melonjak menjadi 2,7 kali. Apabila biaya tersebut tidak ditanggung oleh kantor atau asuransi, berarti biaya rumah tangga orang yang bersangkutan akan tersedot untuk membayar perawatan di rumah sakit. Pertanyaannya adalah bagaimana dan apa yang terjadi dengan penduduk miskin apabila mereka sakit, sementara biaya kesehatan makin meningkat dari waktu ke waktu.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, keberadaan sistem asuransi kesehatan yang mencakup seluruh penduduk mendesak untuk diwujudkan. Jika tidak, akan banyak penduduk terutama penduduk miskin akan mengalami kesulitan untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan, apalagi pada saat perdagangan bebas di sektor jasa mulai diberlakukan.

2.                  Landasan hukum

Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan konstitusi WHO  menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab untuk mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya dapat terpenuhi. MPR RI melalui perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, telah melakukan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Keputusan MPR RI tersebut menjadi landasan yang kuat bagi dikembangkannya suatu sistem jaminan kesehatan bagi keluarga miskin (JPK – Gakin) yang terkait dengan penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan yang selama ini telah dilaksanakan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas), yang menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
            Selanjutnya, juga terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 527/Menkes/Per/ VII/1993 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang mencantumkan adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi kumpulan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara dalam rangka melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang meliputi rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, dan penunjang.

3.                  Konsep dan sistem perlindungan sosial

Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan kesehatan dengan memprioritaskan bagi keluarga miskin (Gakin), yaitu melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin). Cakupan JPK-Gakin meliputi pelayanan kesehatan dasar, yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru).  Kemudian, pada akhir tahun 2001 Pemerintah menyalurkan dana subsidi bahan bakar minyak untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan untuk mengatasi dampak krisis yaitu dengan cara memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin melalui subsidi biaya operasional puskesmas, bidan di desa (BDD), gizi, posyandu, pemberantasan penyakit menular (P2M), dan rujukan rumah sakit.
Dengan perkembangan waktu, dan dalam rangka memelihara derajat kesehatan masyarakat dalam keterbatasan pembiayaan kesehatan sebagaimana diulas di atas, maka dirancang beberapa konsep dan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang kesehatan (Sumber: Bahan Sidang Kabinet 6 Januari 2003 oleh Menteri Kesehatan), yaitu : 
a.                  Pembiayaan berbasis solidaritas sosial, dalam bentuk Jamkesnas. Jamkesnas adalah bentuk jaminan kesehatan prabayar yang bersifat wajib untuk seluruh masyarakat guna memenuhi kebutuhan kesehatan utama setiap warga negara. Pembiayaan Jamkesnas berasal dari iuran yang diperhitungkan sebagai persentase tertentu dari penghasilan setiap keluarga. Dalam hal ini, pekerja di sektor formal dan keluarganya akan lebih cepat dicakup karena kemudahan menghimpun iuran.
b.                  Pembiayaan berbasis sukarela, dalam bentuk: asuransi kesehatan (askes) komersial – berdasarkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela – berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Konstitusi WHO. Saat ini sedang diproses penerbitan PP untuk JPKM sukarela tersebut.
c.                  Pembiayaan kesehatan bagi sektor informal, dalam bentuk: jaminan kesehatan mikro – dari oleh dan untuk masyarakat, misalnya dalam bentuk Dana Sehat; dan dana sosial masyarakat yang dihimpun untuk pelayanan sosial dasar, termasuk kesehatan, misalnya dihimpun dari dana sosial keagamaan dari semua agama (kolekte, dana paramitha, infaq, dll).
d.                  Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan prinsip asuransi, dalam bentuk pembiayaan premi oleh pemerintah untuk JPK-Gakin. (Misalnya dengan memadukan dana Jaring Pengaman Sosial- Bidang Kesehatan (JPS-BK) dengan dana subsidi bahan bakar minyak agar pemanfaatannya maksimal di berbagai tingkat pelayanan mulai dari pelayanan dasar hingga ke rujukan RS.)

Selain keempat bentuk di atas, terdapat suatu jaminan sosial di bidang kesehatan yaitu Asuransi Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT Askes. Askes memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan yang diberikan oleh Askes antara lain: konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, serta pemeriksaan dan pengobatan gigi. Di luar bentuk pelayanan ini, Askes tidak menanggungnya.

4.         Identifikasi dan analisis stakeholders
Peserta asuransi kesehatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peserta wajib, terdiri dari: pegawai negeri sipil (PNS) termasuk calon PNS, pejabat negara, dan penerima pensiun (PNS, TNI/POLRI, PNS di lingkungan TNI/POLRI, dan pejabat negara), Veteran dan Perintis Kemerdekaan, beserta keluarganya. Sedangkan jenis peserta lainnya adalah peserta sukarela, terdiri dari: pegawai swasta, BUMN/BUMD, perusahaan daerah, badan usaha lainnya, serta Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT).

5.         Target beneficiaries
Di satu sisi, masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, di sisi lain, upaya kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat diperkirakan bisa mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pada kenyataannya belum semua masyarakat memahami keberadaan jaminan pemeliharaan kesehatan.
            Hasil dari Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002, tentang kesehatan, berbunyi sebagai berikut:
1)                 Mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan secara bertahap sampai mencapai jumlah minimum sebesar 15% sesuai dengan kondisi keuangan negara dari APBN/APBD, sebagaimana ditetapkan WHO
2)                 Melanjutkan program darurat pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin, rawan gizi, khususnya untuk bayi, balita, ibu hamil dan ibu nifas
3)                 Mewujudkan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
4)                 Membangun pusat-pusat pemulihan trauma pasca konflik, terutama di daerah pengungsian.



VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor kesehatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial

1.         Latar belakang
           
Kuatnya semangat reformasi yang terjadi pada saat ini dilandasi terutama oleh timbulnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia, tuntutan akan demokratisasi dan transparansi. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh PBB, dalam salah satu pasalnya menyatakan, bahwa “setiap warga negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat, menjanda, maupun usia lanjut”.
            Indonesia sebagai salah satu anggota PBB menghormati dasar-dasar hak asasi manusia. GBHN 1999-2004 mengamanatkan jaminan sosial tenaga kerja antara lain melalui peningkatan sistem jaminan sosial tenaga kerja dalam menyediakan perlindungan, keamanan, dan keselamatan kerja, yang pengelolaannya melibatkan tiga unsur yakni pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Demikian pula dalam UUD 1945 (amandemen kedua Pasal 28H) menyatakan, bahwa;

 “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”  

Oleh karena itu, Jaminan Sosial Di Bidang Ketenagakerjaan merupakan penjabaran dari UUD 1945.

2.         Landasan hukum
Dalam penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan, antara lain dilandasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat global, maupun nasional.
Dalam skala global, pada Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh PBB, dinyatakan, bahwa “Setiap warga negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat, menjanda, maupun usia lanjut”. Di samping itu, Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, juga mencantumkan standar minimum jaminan sosial, yang meliputi: tunjangan hari tua, sakit, cacat, kematian, penganguran, dan pelayanan medis.
            Sementara itu, di tingkat nasional, selain dalam UUD 1945 (Amandement ke-4) Pasal 34 Ayat 2 menyatakan, bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Selanjutnya, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, bahwa setiap tenaga kerja berhak atas ... Sedangkan dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) program jaminan sosial bagi tenaga kerja, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Namun UU tersebut belum mencakup jaminan pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun unemploment benefit seperti yang diamanatkan dalam Konvensi ILO No 102 Tahun 1952.

3.         Konsep dan sistem perlindungan sosial
            Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri. Sedangkan penyelenggaraan jaminan sosial di ASEAN cukup beragam, ada yang berbasis program (Singapura, Malaisia, Thailand), dan ada pula yang berbasis kepesertaan (Filipina).
            Pada bagian ini akan dijabarkan tentang perlindungan dan jaminan sosial pada sektor swasta. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsispnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan kerja) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan resiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu berkerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
            Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara Jamsostek memperoleh keuntungan, maka pemerintah akan memperoleh deviden dan pajak badan karena bentuk badan hukum adalah BUMN Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24% - 1,27% dari upah per bulan, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 4 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30% dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70% dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2% dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja.  
           
4.         Identifikasi dan analisis stakeholders
            Pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja melibatkan beberapa stakeholders. PT. Jamsostek bertugas untuk menyelengarakan jaminan sosial tenaga kerja, baik dari segi pelayanan program maupun administrasinya, menuju cakupan dan kualitas pelayanan program. Departemen teknis dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja melakukan pengawasan pelaksanaan program Jamsostek. Demikian pula dengan Departemen Keuangan dan Kementerian BUMN bertindak sebagai pengawas di bidang keuangan serta penempatan portfolio keuangan.
Penyelenggaraan program Jamsostek melibatkan tripartit yang anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Fungsi dari tripartit tersebut adalah sebagai pengawas terhadap pelaksanaan program Jamsostek. Keberhasilan pelaksanaan program Jamsostek juga bergantung dari partisipasi dan pengawasan tripartit, karena mereka duduk dalam Dewan Komisaris PT. Jamsostek. Kepedulian pengusaha akan pentingnya program Jamsostek bagi karyawannya merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan Jamsostek.
            Misi PT. Jamsostek adalah memberikan pelayanan dasar bagi pekerja. Sampai dengan bulan Juni 2002 kepesertaan Jamsostek meliputi 104 ribu perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak sekitar 22 juta orang. Jumlah tersebut baru mencapai sekitar 60% dari seluruh tenaga kerja pada sektor formal. Walaupun program Jamsostek diwajibkan bagi seluruh perusahaan oleh UU, namun masih banyak para pekerja yang belum diikutsertakan dalam program Jamsostek. Hal ini menandakan bahwa penegakan hukum dalam program Jamsostek belum berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan penegakan hukum berada pada Depertemen teknis (Depnaker), sedangkan kewenangan PT. Jamsostek hanya sebatas pada usulan perbaikan benefit atas dasar perhitungan aktuaris.
            Selain itu, juga masih banyak masalah di luar cakupan program Jamsostek (seperti pemulangan TKI illegal, dan sektor informal) yang menjadi beban PT. Jamsostek.
            Berkaitan dengan kelembagaan Jamsostek, sebaiknya bahwa badan penyelenggara Jamsostek berfungsi selaku monopoli. Monopoli di dalam penyelenggaraan program asuransi sosial dapat dibenarkan dalam UU sepanjang program yang ditangani masih dalam lingkup standar minimum (Pawoko, 1999). Pelaku monopolis disini adalah pemerintah, atau serendah-rendahnya BUMN. Namun demikian, issues yang berkembang di tingkat intenasional mengarah pada de-monopoly yang mengikuti arus globalisasi competitiveness, sehingga akan dapat memberikan benefit yang maksimum kepada peserta asuransi. 
            Sehubungan dengan otonomi daerah, pelaksanaan program Jamsostek akan berpengaruh pada pemberlakuan kewenangan Pusat dan Daerah. Dalam hal ini, program-program pelayanan yang bersifat lokal juga perlu didesentralisasikan.

5.         Target beneficieries
Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT. Jamsostek. Setiap perusahaan swasta dengan tenaga kerja lebih dari 10 pekerja diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75% dari jumlah pekerja – mereka belum terlindungi dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT. Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002.
             
           


VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN



1. Latar belakang

Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang lebih menekankan pada aspek fiskal dan pertumbuhan ekonomi ternyata telah mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pembangunan nasional dewasa ini lebih berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM adalah modal utama kesejahteraan suatu bangsa, karena tanpa SDM yang berkualitas maka pembangunan suatu negara tidak akan mencapai tingkat yang optimal.
Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997, maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil, yang ditandai antara lain dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity). Akibat adanya krisis, kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis. Hal ini berakibat pula pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran keluarga tersebut. Salah satu komponen pengeluaran keluarga adalah pengeluaran pendidikan. Jika suatu keluarga sudah miskin sebelum krisis, maka setelah krisis keluarga tersebut akan jauh lebih miskin lagi. Keadaan ini memaksa keluarga tersebut mengambil keputusan untuk “mengerahkan” seluruh anggota keluarganya untuk bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa terkecuali anak-anak yang masih berada pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, mereka menjadi drop-out, karena alasan ekonomi – membantu menambah pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk segera mengatasinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui JPS, antara lain dengan memberikan bantuan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari keluarga miskin. Karena target Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun (hingga SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid SD dan SLTP, ditambah dengan murid SLTA dari keluarga miskin saja. Sementara itu, mahasiswa dari keluarga miskin – apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi – maka mereka akan secara “terpaksa” menjadi drop-out.

2. Landasan hukum

            Landasan  hukum pembangunan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan adalah UUD 1945 Perubahan IV tanggal 10 Agustus 2002, baik pada Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya. Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa:;
1.      Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2.      Pasal 31 (2) disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang
3.      Pasal 31 (3) dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
4.      Pasal 34 (1) dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara 
5.      Pasal 34 (2) dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Landasan hukum berikutnya adalah:
  1. UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  2. UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
  3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  4. UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Bekerja
  5. UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak.

3. Konsep dan sistem perlindungan sosial

Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang ada saat ini masih merupakan kegiatan Jaring Perlindungan Sosial (JPS) bidang pendidikan. Kegiatan utama diprioritaskan antara lain pada upaya-upaya mengurangi angka putus sekolah yang cenderung meningkat khususnya tingkat SD dan SLTP, yang merupakan paket “wajib belajar sembilan tahun”, dan untuk mencegah menurunnya kualitas pendidikan dasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan beasiswa untuk murid SD, SLTP, dan SLTA dalam rangka mencegah terjadinya putus sekolah. Di samping itu, juga diberikan “dana bantuan operasional” (DBO) bagi SD,SLTP dan SLTA untuk mendukung biaya operasional dan pemeliharaan sekolah agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terlaksana dengan lancar.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah ditetapkan beberapa hal yaitu:
1)                 sasaran dan sumber dana
2)                 persyaratan siswa penerima beasiswa bagi siswa SD dan MI, siswa SLTP/MTs dan siswa SLTA/MA
3)                 persyaratan sekolah penerima dana bantuan operasional (DBO) 

Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk:
1)                 Tim Koordinasi, baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kotamadya, termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya
2)                 mekanisme penyaluran dana dan mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban penyaluran dana
3)                 sistem monitoring dan evaluasi

4. Identifikasi dan analisis stakeholders

            Institusi yang terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan (skema-JPS) selama ini adalah Depdiknas, Komite Sekolah, Depag, Bappenas, Depdagri, Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan PT (Persero) Pos Indonesia.

5. Target beneficiaries

Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS adalah keluarga-keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah keluarga-keluarga yang termasuk kategori Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I dan keluarga miskin lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain termasuk siswa SD, SLTP, dan SLTA.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah:
1)                  anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per bulan
2)                  Anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah bencana alam, daerah kerusuhan
3)                  anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar
4)                  anak-anak cacat
5)                  anak-anak yang berprestasi.



 VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA  DAN PENSIUN



1.         Latar belakang

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, maka upaya untuk mewujudkan kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kewajiban konstitusional yang harus dilakukan secara berencana, bertahap, dan berkesinambungan.
Sejalan dengan itu, upaya memelihara kesinambungan penghasilan pada hari tua perlu mendapat perhatian dan penanganan agar lebih berdayaguna dan berhasilguna. Dalam hubungan ini di masyarakat telah berkembang suatu bentuk tabungan masyarakat yang semakin banyak dikenal oleh para karyawan, yaitu dana pensiun. Bentuk tabungan ini mempunyai ciri sebagai tabungan jangka panjang, yang dinikmati hasilnya setelah karyawan yang bersangkutan pensiun. Penyelenggaraannya dilakukan dalam suatu program, yaitu program pensiun yang mengupayakan manfaat pensiun bagi pesertanya melalui suatu sistem pemupukan dana yang lazim disebut pendanaan.
Sistem pendanaan suatu program pensiun memungkinkan terbentuknya akumulasi dana, yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan penghasilan peserta program pada hari tua. Keyakinan akan adanya kesinambungan penghasilan menimbulkan ketenteraman kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja karyawan yang merupakan iklim yang kondusif bagi peningkatan produktivitas. Dalam dimensi yang lebih luas, akumulasi dana yang terhimpun dari penyelenggaraan program pensiun merupakan salah satu sumber dana yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan nasional.

Mengingat manfaatnya yang besar, baik bagi peserta maupun bagi masyarakat luas dan bagi pembangunan nasional, maka upaya penyelenggaraan program pensiun selama ini telah didukung oleh Pemerintah.

2.         Landasan hukum

Dewasa ini program pensiun dengan pemupukan dana diselenggarakan oleh pemberi kerja berdasarkan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1601 s bagian kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut memungkinkan pembentukan dana bersama antara pemberi kerja dan karyawan, namun tidak memadai sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Hal ini disebabkan tidak adanya ketentuan yang mengatur hal-hal mendasar dalam rangka pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan program pensiun, serta dalam pengelolaan, kepengurusan, pengawasan, dan sebagainya.
Untuk itu, pada tahun 1992 telah ditetapkan  Undang-undang Nomor  11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun di Indonesia. Undang-undang ini diharapkan membawa pertumbuhan dana pensiun di Indonesia secara lebih pesat, tertib dan sehat, sehingga membawa manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS), penyelenggaraan program jaminan kesejahteraannya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam  penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.

Sementara itu, program kesejahteraan bagi anggota TNI/Polri diatur dalam beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI;  Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan Prajurut TNI dan Anggota Polri; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI.
Selanjutnya, untuk program kesejahteraan pekerja swasta dan BUMN telah diatur dalam suatu Undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yang dibahas secara terpisah pada bagian lain.

3.         Konsep dan sistem perlindungan sosial

Hingga saat ini terdapat 3 (tiga) lembaga penyelenggara jaminan hari tua (JHT) dan pensiun di Indonesia, yaitu:
a.                  PT. TASPEN, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para PNS baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;
b.                  PT. JAMSOSTEK, yang menyelenggarakan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja di luar pensiun bagi pekerja swasta;
c.                  PT. ASABRI, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para anggota TNI/POLRI baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;

Di samping ketiga lembaga tersebut di atas, terdapat juga lembaga pensiun yang didirikan oleh perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Di samping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya, seperti asuransi kematian, uang duka wafat, bantuan untuk Veteran, dan uang tabungan perumahan (Taperum) yang diperoleh dari BAPERTARUM.
           
            Pendanaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1969 adalah dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar). Sistem ini telah dilakukan sampai dengan akhir tahun 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost financing” yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan funded system dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun PNS. Dalam sistem pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari APBN adalah sebesar 75% dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25% dari seluruh beban pembayaran pensiun PNS.
Sementara itu, sumber dana program tabungan hari tua (THT) PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 3,25% dari penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan sumber dana untuk program dana pensiun PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75% dari penghasilan peserta setiap bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah  gaji pokok ditambah tunjangan istri ditambah tunjangan anak. Di samping itu, PNS juga dikenakan iuran sebesar 2,00% dari penghasilan peserta setiap bulan untuk membayar iuran program kesehatan.
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001 sampai dengan sekarang didasarkan pada Keputusan Direksi PT Taspen dengan menggunakan formula:

(0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 – P2000))

MI 1: Masa iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti.
MI 2: Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti.

Sedangkan formula manfaat program pensiun adalah:

2,5% x masa kerja x penghasilan dasar pensiun

Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan pensiun dilakukan melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen, bank, dan kantor pos.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992, dalam program jamsostek untuk jangka panjang, terdapat jenis perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan hari tua (JHT). Besarnya iuran jaminan hari tua adalah sebesar 5,7% dari upah sebulan – sebesar 3,7% ditanggung oleh pengusaha (selaku pemberi kerja) dan sebesar 2% ditanggung oleh pekerja.
Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus atau berkala kepada tenaga kerja, karena telah mencapai usia 55 tahun, atau mengalami cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu.


4.         Identifikasi dan analisis stakeholders

Berbagai institusi terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang berkaitan dengan PT. (Persero) Taspen, adalah: Departemen Keuangan, Kementerian BUMN selaku pemegang saham, Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, baik di pusat maupun di daerah, BKN, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK, dan BPKP. Sementara itu, institusi yang terlibat berkaitan dengan PT. Jamsostek adalah: Departemen Keuangan, dan Kementerian BUMN selaku pemegang saham.

5.         Target beneficiaries

Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh PT. Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil (PNS), kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766 orang, dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundanga yang berlaku adalah peserta, atau janda/duda dari peserta, atau janda/duda dari penerima pensiun, atau yatim piatu dari peserta, atau yatim piatu dari penerima pensiun, atau orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah peserta, atau istri/suami, anak, atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia.
Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh PT. Jamsostek adalah seluruh karyawan yang mempunyai hubungan kerja, atau keluarganya, atau ahli warisnya.



IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT MISKIN DAN RENTAN



1.         Latar belakang

Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, hingga saat ini kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus ditangani bersama. Sampai dengan tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin telah mencapai sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan sekitar 13,4 juta di antaranya tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of the poor).
Untuk menjamin kesejahteraan rakyat, Pemerintah telah menyelenggarakan beberapa skema bentuk-bentuk perlindungan dan jaminan sosial seperti asuransi kesehatan, asuransi ABRI, pensiun, jaminan sosial tenaga kerja, dan lain-lain. Namun, penduduk miskin dan terutama yang bekerja di sektor informal pada umumnya belum tersentuh oleh skema-skema tersebut, sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap ketidakstabilan perekonomian yang terjadi baik di lingkungannya maupun di Indonesia secara umum. Oleh sebab itu, Pemerintah memandang perlu untuk menyelenggarakan suatu bentuk perlindungan sosial yang dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi penduduk miskin tersebut.

2.         Landasan hukum

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang melandasi penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat rentan, yaitu:
1.                  Undang-undang Dasar 1945
2.                  Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembar Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039). Khususnya: (1) Pasal 1: Setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial; (2) Pasal 2 ayat (4): Jaminan Sosial sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial warga negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial; (3) Pasal 4 ayat (1): Usaha-usaha pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi: (a) bantuan Sosial kepada warga negara baik secara perseorangan maupun dalam kelompok yang mengalami kehilangan peranan sosial atau menjadi korban akibat terjadinya bencana-bencana, baik sosial maupun alamiah atau peristiwa-peristiwa lain; (b) pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu sistem jaminan sosial; (c) bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat kepada warga negara, baik perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu kemampuannya untuk mempertahankan hidup, yang terlantar, atau yang tersesat; dan (d) pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban, perikemanusiaan, dan kegotong royongan; (4) Pasal 5 ayat (1): Pemerintah mengadakan usaha-usaha ke arah terwujudnya dan terbinanya suatu jaminan sosial yang menyeluruh. (Penjelasan: Ayat ini membebankan kewajiban kepada Pemerintah untuk melaksanakan dan membina suatu sistem jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial dan sebagai wahana utama pemeliharaan kesejahteraan sosial termaksud, pelaksanaannya mengutamakan penggunaan asuransi sosial dan/atau bantuan sosial.)
3.                  Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Pasal 5 ayat (2) huruf g: Bagi Lanjut Usia yang tidak potensial agar dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar diberikan perlindungan sosial berupa pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
4.                  Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
5.                  Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6.                  Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Penyandang Cacat
7.                  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
8.                  Undang-undang nomor 22 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

3.         Konsep dan sistem perlindungan sosial

Melihat keadaan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih belum dapat menikmati kesejahteraan sosial yang memadai, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersebut di atas, Pemerintah perlu menyelenggarakan jaminan kesejahteraan sosial (Jamkesos) bagi masyarakat yang masih tergolong rentan.
Jamkesos pada dasarnya merupakan suatu bentuk jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah guna memastikan bahwa rakyat miskin dan tidak mampu dapat mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya dan masih dapat terpenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya. Bentuk dari Jamkesos terbagi dua, yaitu: (1) Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) yang bisa bersifat permanen dan yang bersifat sementara (emergency); dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individu, keluarga, kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS permanen diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen, seperti lanjut usia terlantar, dan penyandang cacat ganda. Adapun BKS sementara (emergency) diberikan dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen, seperti korban bencana alam dan sosial.
Sementara itu, Askesos yang merupakan sistem asuransi sosial, ditujukan untuk melindungi penduduk miskin dari resiko (risk) yang mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan sosialnya, sebagai akibat dari pencari nafkah menderita sakit, mengalami kecelakaan, atau meninggal dunia. Askesos saat ini masih dalam tahap uji coba dengan keanggotaan bersifat sukarela dan terbatas untuk kelompok tertentu. Rencana ke depan, Askesos akan diterapkan secara nasional, dan dalam bentuk asuransi wajib, berlaku bagi semua orang, dan semua kepala keluarga.

4.         Identifikasi dan analisis stakeholders

Departemen Sosial (Depsos) yang diberikan mandat untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang sosial telah berinisiatif untuk menyelenggarakan jaminan kesejahteraan sosial dengan target beneficiary masyarakat rentan. Dalam pelaksanaan Jamkesos, Depsos bekerjasama dengan Dinas Sosial Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Namun dengan dilaksanakannya desentralisasi, pelaksanaan kegiatan dan monitoring Jamkesos serta Askesos menjadi lebih sulit dilaksanakan, sebab tidak adanya hubungan struktural antara pusat dan daerah.

5.         Target beneficiaries

Saat ini BKS permanen yang dilaksanakan adalah Jaminan Kesejahteraan Sosial Gotong Royong (JKS-GR) yang diberikan dalam bentuk uang melalui kelompok-kelompok sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini masih difokuskan pada kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok tersebut sebagian disisihkan untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi. Dalam BKS permanen, kelompok penduduk yang menjadi sasaran utama dari kegiatan JKS Gotong Royong (JKS-GR) adalah lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda).
Sementara itu, untuk BKS sementara, sasaran utamanya adalah korban bencana alam dan bencana sosial untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian. Sedangkan sasaran utama Askesos adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang sayur, dan lain-lain.


sumber :
http://google.com/

Comments

Artikel Lainnya:

PERANAN PEKERJA SOSIAL

TERMINASI

PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL BIDANG PENDIDIKAN

PENGERTIAN ANAK DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

Total Pageviews

Followers