HAM Dalam Islam
HAM dalam Islam
- Hak Asasi Manusia Dalam Islam
Sejak mula sebelum
lahirnya berbagai gagasan tentang HAM, islam telah meletakkan dasar yang kuat.
Islam memandang bahwa kedudukan manusia adalah sama dan hanya dibedakan dari
sudut ketakwaannya; tidak ada paksaan dalam beragama; dan tidak boleh satu kaum
menghina kaum yang lain. Rasululah Muhammad SAW sendiri bersabda, bahwa”
setiap manusia di lahirkan dalam keadaan suci.”
Landasan pijak keterkaitan
dengan hak tersebut dalam islam dikenal melalui dua konsep; yaitu hak manusia
(haq alinsan) dan hak allah. Hak manusia itu bersfat relative sedangkan hak
allah adalah mutlak, tetapi antara kedua hak tersebut saling melandasi satu
sama lain.
2.
Prinsip-prinsip HAM
dalam islam
Hak asasi manusia dalam
islam sebagaimana termaktub dalam fikih menurut Masdar F. Mas’udi, memiliki
lima perinsip utama, yaitu:
- Hak perlindungan terhadap jiwa
Kehidupan merupakan
sesuatu hal yang sangat niscaya dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Allah
berfirman dalam surat al-baqarah ayat 32:
“membunuh manusia seluruhnya. Dan
barang siapa yang menyelamatkan kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah menyelamatkan kehidupan manusia semuanya.”
- Hak perlindungan keyakinan
Dalam hal ini allah telah
mengutip dalam alqur’an yang berbunyi “la iqrah fi-dhin dan lakum dinukum
waliyadin”
- Hak perlindungan terhadap akal pikiran
Hak perlindungan terhadap
akal pikiran ini telah di terjemahkan dalam perangkat hokum yang sangat
elementer, yakni tentng haramnya makan atau minum hal-hal yang dapat merusak
akal dan pikiran manusia.
- Hak perlindungan terhadap hak milik
Hak perlindungan terhadap
hak milik telah dimaksudkan dalam hukum sebagaimana telah diharamkannya dalam
pencurian.
- Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan merpertahankan nama baik
Nilai-nilai HAM dalam syari’ah Islam
Secara normatif, nilai-nilai HAM
dirumuskan oleh PBB dalam sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (Universal Declaration of Human Rights)
PBB pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini disepakati oleh 48 negara dimaksudkan untuk
menjadi standar umum yang universal dari hak asasi manusia bagi sleuruh bangsa
dan umat manusia. Deklarasi ini menyebutkan seluruh hak dan kebebasan yang
dinikmati setiap individu tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, opini politik, dan opini lainnya, asal-usul kebangsaan atau
sosial, status kekayaan, kelahiran, dan status lainnya.
Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal. Secara umum pasal-pasal itu mengatur
hak-hak yang menjunjung tinggi martabat manusia baik sebagai individu, anggota
masyarakat bangsa, maupun masyarakat internasional. Dilihat dari tujuan,
nilai-nilai HAM di atas sangat universal dan baik. Harkat dan martabat manusia
dijunjung tinggi terlepas dari perbedaan ras, agama, warna kulit, dan perbedaan
lainnya. Dalam konteks ajaran Islam, nilai-nilai itu diakui sebagai sunnatullah.
Islam adalah agama yang universal dan komprehensif yang melingkupi beberapa
konsep. Konsep yang dimaksud yaitu aqidah, ibadah, dan muamalat yang
masing-masing memuat ajaran keimanan. Aqidah, ibadah dan muamalat, di samping
mengandung ajaran keimanan, juga mencakup dimensi ajaran agama Islam yang
dilandasi oleh ketentuan-ketentuan berupa syariat atau fikih. Selanjutnya, di
dalam Islam, menurut Abu A'Ala Al-Maududi, ada dua konsep tentang Hak. Pertama,
Hak Manusia atau huquq al-insān al-dharuriyyah. Kedua, Hak
Allah atau huquq Allah. Kedua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan.
Dan hal inilah yang membedakan antara konsep HAM menurut Islam dan HAM menurut
perspektif Barat.
Perlu dicatat bahwa inti dari HAM adalah egalitarianisme, demokrasi, persamaan
hak di depan hukum, dan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Elemen-elemen itu
mengejawantah dalam bentuk di antaranya dalam perbedaan dan keragaman dalam arti
yang luas. Perbedaan, misalnya dalam pandangan Islam, adalah kehendak Allah
karena itu segala upaya yang memaksa agar semua manusia itu seragam (satu
agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu opini politik) adalah penyangkalan
terhadap sunnatullah itu. Dalam al-Qur'an Allah menegaskan, yang
artinya:
"dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" QS,
Yunus [10]: 99.
Kitab tafsir yang sangat dihormati, Tafsir Jalalain, membuat tekanan
sentral yang lebih memperjelas ayat ini dengan mengatakan, "hendak kau
paksa jugakah orang untuk melakukan apa yang Allah sendiri tidak ingin
melakukannya terhadap mereka?"
Penegasan Jalalain dapat mempertegas bahwa
usaha untuk menyamakan semua perbedaan semua umat manusia adalah sebuah
tindakan pelanggaran HAM. Ini juga menunjukkan bahwa dengan perbedaan manusia
didorong untuk saling menolong dan bekerjasama. Karena itu, sikap menghargai
atas perbedaan di antara manusia adalah sikap primordial yang tumbuh secara
organik sejak Islam diserukan kepada umat manusia 1500 tahun yang lalu.
Islam menyadari bahwa mengakui perbedaan adalah sikap paling realistis. Hal ini
ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah: 272 "Bukan tugasmu (hai
Rasul) memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi Allahlah yang memberi petunjuk
kepada siapapun yang kekehendaki-Nya". Ayat-ayat ini adalah prinsip HAM
dalam beragama dan dalam menghormati perbedaan. Namun demikian, ayat ini
menganjurkan agar setiap orang yang beriman harus tetap teguh tanpa harus
terpengaruh oleh ajaran yang lain.
Selain prinsip HAM di atas, prinsip-prinsip lain yang bersifat menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia adalah kritik Islam atas ketidakadilan,
ketimpangan sosial, dan diskriminasi. Nilai-nilai ini adalah juga yang
diperjuangkan oleh HAM. Sejak 1500 tahun yang lalu, al-Qur'an menyampaikan
kritik ini seperti ketidakadilan ekonomi dalam pernyataan "kekayaan tidak
boleh berputar di kalangan orang-orang kaya saja", QS, 59:7. Juga aturan
zakat dalam QS 9:60 memperkuat bagaimana Islam peduli pada orang-orang
tertindas yang perlu ditolong dan ditingkatkan harkat dan martabatnya.
Melakukan pembiaran atas nasib orang-orang miskin dan terlantar adalah
perbuatan melanggar agama dan HAM.
Selanjutnya, pada level sosial-politik al-Qur'an ingin menguatkan unit
kekeluargaan paling dasar yang terdiri dari kedua orang tua, anak-anak, dan
kakek-nenek. Unit keluarga adalah dasar keharmonisan di mana harkat manusia
mulai ditegakkan. Karena itu al-Qur'an peduli pada aspek ini seperti
diterangkan dalam QS, 2: 83, 4:36, 6:161, 17:23, 29:8, dan lain-lain. Karena
itu, peningkatan harkat dan martabat manusia hanya bisa bermakna jika dikaitkan
dengan aspek keadilan ekonomi, sosial, dan politik. Prinsip-prinsip al-Qur'an
di atas mengatur sedemikian rupa sehingga hak-hak manusia tidak dilanggar baik
dalam tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Baik secara ekonomi,
sosial, maupun politik.
Jadi, persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan persamaan di depan hukum
adalah prinsip-prinsip kunci yang sangat diperhatikan di dalam Syari'ah. Dalam
sejarah peradaban Islam, prinsip-prinsip ini dipegang oleh umat Islam sebagai
cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan prinsip-prinsip yang sangat jelas di atas, maka setiap pemaksaan
kehendak, penindasan, diskriminasi, intoleransi, terorisme, dan hal-hal yang
menyalahi sunnatullah bukanlah ajaran Islam. Sekalipun hal ini dilakukan
oleh oknum umat Islam, namun ini tetap sebagai bukan ajaran Islam. Penegasan
ini perlu, karena semua pelanggaran HAM dalam bentuk pemerintahan
otoriter (Sadam Husen, Khomeini, Kadafi, dan lain-lain), dalam bentuk
terorisme, dan dalam bentuk penindasan kaum wanita selalu dialamatkan kepada
umat Islam. Terorisme adalah persoalan politik dan ada di setiap agama manapun.
Terorisme bukan ajaran agama karena ia bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan sunnatullah.
Dalam sejarah, pelanggaran semacam ini pernah dilakukan oleh setiap agama.
Namun, akan lebih bijak kalau pelanggaran dan kekejaman atas nama agama bukan
karena ajaran agama itu sendiri, tetapi semata-mata oleh oknum-oknum umat beragama
yang salah menginterpretasikan ajaran agamanya. Di sini perlu adanya
upaya-upaya kerja sama di antara semua pemeluk agama untuk mencari akar-akarnya
sehingga ajaran agama tidak menjadi pendorong pelanggaran HAM.
Secara normatif, tidak ada agama yang menganjurkan
kekerasan, kekejaman, dan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Dalam konteks
ajaran Islam, ia justru menawarkan konsep kerja sama berdasarkan keadilan,
saling menghormati, dan persaudaraan. Masalah keyakinan adalah masalah Tuhan,
yang manusia sendiri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili. Hal ini
ditegaskan dalam QS, 16:125, "Sesungguhnya Tuhanmu jauh lebih
mengetahui daripada engkau tentang siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan
siapa yang mendapat petunjuk". Prinsip ini mempertegas bahwa
dahulukan penghormatan terhadap HAM dan jangan engkau hiraukan keyakinannya
selama ia tidak memusuhi dan melakukan penyerangan. Dengan kata lain, keyakinan
yang berbeda jangan menghalangi kerja sama dan saling menghormati di antara
manusia. Prinsip al-Qur'an ini menjadi jalan umat Islam untuk menjadi pelopor
dalam toleransi dan penegakan hak-hak asasi manusia. Umat Islam semestinya
tidak gamang berbicara soal HAM, karena prinsip-prinsipnya telah diajarkan
dalam al-Qur'an 1500 tahun yang lalu, Kegamangan untuk menegakkan HAM oleh umat
Islam justru menandai kemunduran perspektif Islam dan membiarkan prinsip ini
tidak aplikatif.
HAM dan umat Islam Indonesia
Implementasi HAM di Indonesia mengikuti iklim politik yang berjalan. Politik di
Indonesia bukanlah politik Islam. Namun demikian, dalam banyak hal nilai-nilai
Islam masuk ke dalam semangat perundangan dan peraturan negara.
Terkait dengan toleransi, kerukunan beragama, dan penolakan
terhadap terorisme, umat Islam Indonesia sebagaimana diwakili oleh ormas-ormas
Islam (Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, dan lain-lain) memiliki sikap yang
jelas. Umat Islam Indonesia mendukung toleransi, mengutuk terorisme,
mengembangkan kebajikan-kebajikan sosial, dan aktif dalam program pemberdayaan
perempuan dan pengentasan kemiskinan melalui unit-unit organisasi di bawahnya.
Karena itu, melihat umat Islam Indonesia harus dipisahkan dari
kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Jika ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
negara, maka tidak otomatis oleh umat Islam. Jika ada kekerasan dilakukan oleh
oknum umat Islam, tidak otomatis oleh Islam. Pemisahan ini perlu agar segala
hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dianggap sebagai ajaran Islam itu
sendiri.
Sikap umat Islam Indonesia terhadap prinsip-prinsip HAM sudah final dan
konklusif. Perbedaannya terletak pada aspek rincian dan metode implementasi.
Karena itu, kerjasama dan dialog tentang bagaimana menegakkan HAM terus
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek spesifik dari masing-masing
konsep ajaran agama.
Ormas-ormas Islam adalah representasi dari umat Islam Indonesia. Dalam sejarah
HAM, umat Islam justru menjadi korban pelanggaran HAM oleh negara (rejim
politik tertentu). Tragedi G30 SPKI, Peristiwa Tanjung Periuk, dan lain-lainnya
adalah contoh pelanggaran HAM yang meminta korban umat Islam. Dengan demikian,
selama ini umat Islam Indonesia tetap konsisten membela tegaknya HAM dan bahkan
sangat kritis terhadap semua bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh
negara ataupun oleh oknum umat Islam.
Karena itu, menilai apakah Islam di Indonesia bagian dari penegakan HAM harus
dilihat dari optik sikap resmi ormas-ormas Islamnya. Bukan oleh sikap
pribadi-pribadi Muslim atau kebijakan-kebijakan pemerintah. Dari perspektif ini
hubungan antara umat Islam Indonesia dengan prinsip-prinsip HAM adalah paralel
dan bukan antagonistis.
Ormas-ormas Islam Indonesia justru banyak berinisiatif agar akar-akar terorisme
dan akar-akar radikalisme Islam disembuhkan dahulu melalui pemberdayaan umat
dan pesantren. Pendidikan yang baik dan kesejahteraan yang relatif aman dapat
mengurangi umat Islam dari keterlibatan terorisme dan radikalisme.
Di sini, fakta HAM tengah mengalami anti-klimaks di Timur Tengah melalui
serangan membabibuta militer Israel atas komunitas Gaza. Kini korban-korban
konflik Israel-Palestina yang berjumlah lebih dari 1000 orang (termasuk
anak-anak, wanita, dan orang tua) menyuguhkan belum pulihnya tragedi
kemanusiaan di jaman modern. Kerjasama global yang selama ini terjalin baik
dalam menyelesaikan masalah HAM seperti ternoda dan kehilangan maknanya.
Agama-agama harus menjadi spirit perdamaian dan spirit penegakan HAM tanpa
batas sehingga menjadi topangan kuat bagi terjalinnya kehidupan manusia yang
terlindungi secara HAM.
Comments
Post a Comment