Anak yang Berhadapan dengan Hukum
A.
Pengertian Anak dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
1. Pengertian
Anak
Anak
merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang
dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan
perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah
(2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Secara umum apa
yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil
dari hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercoss) antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun
diluar perkawinan.
Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang
lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang diartikan dengan anak-anak
atau juvenale, adalah seseorang yang masih dbawah usia tertentu dan
belum dewasa serta belum kawin. Pengertian dimaksud merupakan pengertian yang
sering kali di jadikan pedoman dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak.
Dikemukakan oleh Ter Haar bahwa saat seseorang menjadi dewasa ialah saat ia
(laki-laki atau perempuan) sebagai orang yang sudah berkawin, meninggalkan rumh
ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-bini muda
merupakan keluarga yang berdiri sendiri.20
Undang-undang No 1 tahun 1974 telah memberikan tiga kriteria usia, yang
meliputi:
a.
Usia syarat kawin yaitu 19 tahun dan wanita 16 tahun
b.
Usia ijin kawin dimana bagi mereka yang akan menikah dibawa usia 21 tahun
harus ada ijin dari orang tua.
c.
Usia dewasa yaitu 18 tahun atau telah kawin.
2. Pengertian Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Dalam
Hukum Internasional, anak yang berhadapan dengan hukum atau ‘children in conflict with the law’
adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem
peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan
tindak pidana. Persinggungan anak dengan sistem peradilan pidana menjadi titik
permulaan anak berhadapan dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana
menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang melakukan
tindak pidana atau melanggar kesesuaian hukum pidana. Dengan demikian istilah
sistem peradilan pidana anak dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan
pidana yang dikonstruksikan pada anak.
Menurut
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) golongan,
yaitu anak yang berkonflik dengan hukum; anak yang menjadi korban tindak
pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Yang dimaksud dengan Anak
yang Berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun namun
belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Dilihat
dari definisi tersebut, terdapat suatu maksud oleh pembuat undang-undang yang
ingin mengelaborasi definisi anak yang berhadapan dengan hukum dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut tidak terdapat definisi
mengenai anak yang berhadapan dengan hukum, tetapi dijelaskan bahwa anak yang
berhadapan dengan hukum ini berhak atas perlindungan-perlindungan yang
meliputi:
a.
Perlakuan
atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak.
b.
Penyediaan
petugas pendamping khusus sejak dini.
c.
Penyediaan
sarana dan prasarana khusus.
d.
Penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.
e.
Pemantauan
serta pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan
dengan hukum.
f.
Pemberian
jaminan untuk mempertahankan relasi dengan orang tua atau keluarga.
g.
Perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.
Hal
tersebut sejalan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
bernapaskan perlindungan yang setinggi-tingginya bagi anak. Karena anak
merupakan aset terbesar bangsa yang wajib kita lindungi demi tumbuh kembang
anak menjadi pribadi yang mandiri, bertanggung jawab dan cerdas untuk kemajuan
bangsa Indonesia di masa mendatang.
B.
Pengertian Tindak Pidana Anak
Hukum
pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :
1. Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut,
2. Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat
dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan,
3. Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara
istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah
“hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi
menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi
dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah
itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak
hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah
sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena
pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan
pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau
sifat-sifatnya yang khas”.
Pengertian tindak pidana yang di muat
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang
sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari
itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering
dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan
pidana, peristiwa pidana, serta delik.
Pengertian Tindak Pidana menurut
Simons ialah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang hukum pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan
dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana
adalah Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang
dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman trhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.
Sedangkan,
menurut
Tolib Setiadi, (2010:176) pada dasarnya yang dimaksud dengan tindak pidana anak
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan pasal 45 KUHP. Romli Atmasasmita (Tolib Setiadi, 2010:176)
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan juvenile delinquency adalah:
"Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun
dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta
dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan". Simanjuntak
(Tolib Setiadi, 2010:176) juvenile delinquency adalah: "Suatu perbuatan
itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup, atau suatu perbuatan
yang anti sosial dimana didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
Kartini Kartono (Tolib Setiadi,
2010:177) juvenile delinquency adalah: "Perilaku jahat/dursila atau
kejahatan/kenakalan anak-anak, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial
pada anak-anak yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga
mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang". Namun menurut Wagiati Soetodjo (2010:12)
terlalu extrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak disebut
dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang
labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan
menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum.
Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang
ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku
belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.
C.
Tinjauan tentang Balai Pemasyarakatan
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang
permasyarakatan, yang dimaksud dengan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah unit
pelaksanaan teknis dibidang pembinaan luar lembaga permasyaraktan yang berada
di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebelumnya adalah Balai Bimbingan
Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berdasarkan keputusan Menteri
Kehakiman No. M.01.PR.07.03 Tahun 1997 namanya diubah menjadi Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
untuk disesuaikan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Rumusan pasal-pasal tersebut diatas tentu saja belum memberikan kejelasan
peran dari BAPAS. Penjabaran dari peran BAPAS tersebut dapat disimak pada
Peraturan Pemerintahg No.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 6 Petugas Pemasyarakatan yang
melaksanakan tugas pembimbingan klien pemasyarakatan disebut sebagai pembimbing
Kemasyarakatan. Dengan demikian didalam tugasnya melakukan pembimnbingan
terhadap klien pemasyarakatan.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak
untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun social
sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang
Perlindungan Anak yang meliputi :
a.
Non Diskriminasi
b.
Kepentingan yang
terbaik untuk anak
c.
Hak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan
d.
Penghargaan terhadap anak
Berdasarkan
prinsip-porinsip tersebut, baik anak yang berhadapan dengan hukum, Balai
Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai kekuatan untuk
menentukan keputusan yang terbaik bagi anak, melaui rekomendasi dalam
Penelitian Kemasyarakatan maupun dalam pembimbingan.
Pembimbingan
Kemasyarakatan (PK) merupakan jabatan tehnis yang disandang oleh petugas
pemasyarakatan di BAPAS dengan tugas pokok melaksanakan bimbingan dan
penelitian terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) sesuai Pasal 8 ayat 1 dan
ayat 2 Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Dengan peran BAPAS
yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarkatan (PK) juga dapat ditemukan pada
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat 1
yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:
a.
Membantu memperlancar
tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik didalam
maupun di luar siding anak dengan membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan (LITMAS).
b.
Membimbing, membantu
dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang menjatuhi pidana
bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda diserahkan kepada Negara dan harus
mengikuti latihan kerja atau yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga
Pemasyarakatan.
Pada Pasal 55, 57 dan 58 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 terdapat rumusan
tentang Pembimbing Kemasyarakatan bahkan kewajibannya untuk hadir dalam siding
anak. Pada Pasal 56 diatur kewajiban Hakim untuk memerintahkan Pembimbing
Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai
anak yang akan disidangkan sebelum siding dibuka. Pada Pasal 59 (2) mewajibkan
kepada hakim dalam putusannya untuk mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sudah harus dimulai semenjak
proses penyidikan. Dalam Pasal 42 (2) penyidik wajib meminta pertimbangan dan
saran pembimbingan kemasyarakatan.
D.
Pengertian Pekerja Sosial dan Pekerja Sosial Koreksional
1. Pengertian
Pekerja Sosial
Pekerjaan
Sosial merupakan profesi yang memberikan pertolongan pelayanan sosial kepada
individu, kelompok dan masyarakat dalam peningkatan keberfungsian sosial mereka
dan membantu memecahkan masalah-masalah sosial mereka disebut dengan pekejaan
sosial, atau pekerjaan sosial adalah seseorang yang memiliki profesi dalam
membantu orang memecahkan masalah-masalah dan mengoptimalkan keberfungsian
sosial individu, kelompok dan masyarakat serta mendekatkan mereka dengan sistem
sumber.
Pekerja
sosial dalam menjalankan tugas berada dalam naungan badan-badan sosial yang
bergerak dalam pelayanan-pelayanan sosial .Dalam mejalankan profesinya seorang
pekerja sosial bekerja dengan menggunakan teknik-teknik dan metode-metode
tertentu yang disesuaikan dengan masalah-masalah yang akan diselesaikan,
pemilihan teknik dan metode harus tepat guna bagi klien.
Menurut
pendapat Max Siporin, D.S.W (1975:3) mengartikan pekerjaan sosial
sebagai berikut: “Social work is defined
as social institutional method of helping people to prevent and resolve their
social problems, to restore and enhance their social functioning”
(Pekerjaan sosial sebagai metode yang bersifat sosial dan institusional untuk
membantu orang mencegah dan memecahkan masalah-masalah mereka serta untuk
memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial mereka).
Selaras
dengan pendapat yang dikemukan oleh Max Siporin, maka yang dimaksud dengan
pekerjaan sosial adalah suatu profesi sosial yang dan berbadan hukum yang
memiliki bertujuan membantu individu, kelompok dan masyarakat dalam proses
pemecahan masalah-masalah sosial dan mencarikan alternatif-alternatif pemecahan
masalah yang berfungsi sebagai penguatan agar masalah yang telah teratasi tidak
muncul lagi dan berkembang dengan menimbulkan masalah sosial lain.
Dalam
menjalankan profesi pertolongan seorang pekerja sosial tidak terlepas dari
konteks sosial tempat tinggal klien yang bermasalah, yang dikatakan klien
bermasalah adalah individu, kelompok dan masyarakat yang tidak mampu melakukan
adaptasi dengan lingkungan sekitar atau mengalami hambatan-bambatan dan tidak
mampu membawakan peranan-peranan sosial sesuai yang diharapkan oleh masyarakat
dimana mereka tinggal (kemampuan berinteraksi sosial memiliki dampak yang luas
pada kehidupan klien).
2. Pengertian
Pekerja Sosial Koreksional
Menurut
Eliot Studt yang dikutip oleh R. Skidmore dan W. Thackrey (1982:250) adalah: “Correction
in one at least is the one total process of helping person who have violated
the law to be rehabilitated”. Koreksi adalah proses pertolongan secara
keseluruhan terhadap orang-orang yang telah melanggar hukum untuk
direhabilitasi.
Pekerjaan
sosial koreksional merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana. Pekerjaan
sosial koreksional adalah pelayanan profesional pada setting koreksional
(Lapas, Rutan, Bapas, dan lainnya) dan sistem lain dalam sistem peradilan
kriminal yang bertujuan untuk membantu pemecahan masalah klien, agar
meningkatkan keberfungsian sosialnya. Dua jenis pelayanan yang diberikan yaitu;
pelayanan institusi koreksional dan mengkaitkan dengan sumber-sumber dalam
masyarakat (Ivanorff, Smyth dan Finnegan, 1993).
Menurut
modul diklat pekerjaan sosial koreksional Departemen Sosial RI (2004:74-75)
mengemukakan pengertian koreksional yaitu suatu proses sosial dalam sistem
peradilan kejahatan, karena proses sosial tersebut terdiri atas lima tahap
yaitu:
a.
Perumusan
peraturan/perundang-undangan (legislation)
b.
Penegakan
hukum (law enforcement)
c.
Penuntutan
dan penahanan (prosecution and defence)atau persiapan pengkajian kasus
kejahatan sebelum disidangkan dalam peradilan.
d.
Proses
peradilan (judicial process)
e.
Koreksional
(correction)
E. Pekerja
Sosial dengan Anak Berhadapan Hukum
Dalam
bekerja dengan anak khususnya anak yang berkonflik dengan hukum, seorang
Pekerja Sosial harus melakukan tindakan-tindakan yang profesional dalam arti
hasus sesuai dengan ketiga dimensi diatas. Pengetahuan dalam arti seorang
pekerja sosial harus mempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial.
Nilai dalam arti praktek pekerjaan sosial harus dilandasi dengan nilai-nilai
yang tertentu yaitu kode etik praktek pekerjaan sosial. Ketrampilan seorang
pekerja sosial banyak dipengaruhi oleh semakin banyaknya praktek yang di
lakukan (jam terbang).
1. Kompetensi
Pekerja Sosial Sebagai Pendamping
Permasalahan anak
yang berkonflik dengan hukum diatas membutuhkan peranan pekerja sosial dalam
mendampingi mereka. Pekerja sosial sebagai seorang pendamping harus menempatkan
dirinya sebagai sahabat anak dan menempatkan anak sebagai manusia yang pantas untuk
dihormati serta memiliki hak-hak, bukan hanya perlindungan hukum tetapi juga
perlindungan sosial. Untuk memenuhi perlindungan tersebut Pekerja Sosial
melalui kerjasama dengan pengacara menuntut aparat penegak hukum untuk
menghindarkan penyiksaan terhadap anak. Pekerja Sosial harus melakukan
kunjungan rutin kepada anak ketika anak berada dalam tahanan atau penjara dan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk mengemukakan
pendapatnya dan mengekspresikan dirinya secara bebas (pasal 12, 13 KHA).
Mendengarkan pendapat anak tentang mengapa ia melakukan perbuatan yang dianggap
melanggar hukum. Pekerja Sosial harus menciptakan suasana diskusi yang tidak
menjadikan anak semakin terpojok, tetapi sebaiknya menciptakan suasana diskusi
yang mana anak merasa, bahwa dirinya siap membuka lembaran baru dalam
kehidupannya dimasa mendatang.
2. Kualitas
Seorang Pendamping
Pekerja sosial
sebagai seorang pendamping anak yang berkonflik dengan hukum harus memiliki
kualitas pribadi, baik yang bersumber dari kompetensi profesionalnya maupun
yang secara fundamental melekat pada kualitas kepribadiannya. Kualitas pribadi
tersebut diperoleh disamping melalui proses pelatihan, terlebih utama diperoleh
dari pengalaman praktek dengan anak. Kesadaran untuk membangun dan meningkatkan
kualitas kesadaran untuk membangun dan meningkatkan kualitas pribadi pendamping
secara terus menerus dikembangkan oleh pendamping itu sendiri dalam rangka
tanggung jawab profesionalnya. Beberapa ciri kualitas pendamping masyarakat
antara lain :
a. Kematangan
Pribadi
Pada dasarnya individu mengalami perkembangan dan
pertumbuhan yang terus menerus kearah kematangan pribadinya. Pengalaman baru
sebagai hakekat perubahan pribadi secara akumulasi akan membentuk kematangan
pribadi. Secara arif pendamping yang matang akan mensikapi situasi sebagai
fenomena dari suatu proses perubahan yang tidak pernah berhenti berproses.
b. Kreatifitas
Praktek pertolongan yang efektif biasanya mencakup
pencarian alternatif-alternatif baru sebagai pemecahan masalah. Kreatifitas pendamping
sangat diperlukan menghadapi keterbatasan dalam menemukan dan merumuskan
pilihan alternatif pemecahan masalah. Kreatifitas pendamping anak yang
berkonflik dengan hukum dimungkinkan tumbuh dari kebutuhannya terhadap
pengalaman-pengalamannya baru dan rasa keingin tahuan yang tiada hentinya.
Cara-cara yang sudah ada memberikan peluang munculnya kesempatan pengembangan
cara-cara baru. Pendamping yang kreatif akan selalu menjaga keterbukaannya,
memelihara keberbedaan dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap konflik.
c. Pengamatan
Diri
Pengamatan diri diartikan sebagai kemampuan pendamping
peka terhadap kondisi-kondisi internal di dalam dirinya: kesadaran untuk
melepaskan dirinya sendiri. Kemampuan pengamatan diri ini mencakup mencintai
diri sendiri sekaligus mencintai orang lain, menghormati diri sendiri sekaligus
mencintai orang lain. Demikian pula dengan kepercayaan, penerimaan dan
keyakinan. Pengamatan diri sendiri secara utuh mengungkap
kelemahan/keterbatasan diri disamping kemampuan/kelebihan yang dimiliki.
d. Keinginan
Untuk Menolong
Seorang pendamping anak yang berkonflik dengan hukum
mutlak harus memiliki keinginan yang kuat untuk menolong orang lain. Pada
dasarnya keinginan tersebut merupakan komitmen diri ketimbang dorongan dari
orang lain. Keinginan tersebut sepenuhnya muncul dari diri kita sebagai
perwujudan komitmen diri. Komitmen menolong orang lain ini memerlukan
keberanian untuk mengambil resiko terhadap diri sendiri sebagai akibat
pertolongan.
e. Keberanian
Seorang pendamping anak yang berkonflik dengan hukum
harus memiliki keberanian yang disadari sepenuhnya untuk melakukan hal-hal yang
dianggap perlu sekaligus kesiapan menanggung segala resiko yang muncul akibat
keputusannya. Keberanian ini termasuk kesiapan menerima kegagalan yang terjadi
dari proses pelayanan, terlibat kesulitan-kesulitan dan kekecewaan yang
menyertai kegagalan tersebut, situasi dipersalahkan, berada dalam kondisi
ketidak pastian dan terancam secara fisik. Keberanian pendamping termasuk
menghadapkan anak yang berkonflik dengan hukum dengan realitas masalah yang
dihadapinya yang terasa mengancam dan menyakitkan.
f. Kepekaan
Kesulitan
utama pendampingan anak yang berkonflik dengan hukum adalah mengenali dan
mengemukakan permasalahan, yang utamanya bersumber pada keterlibatan perasaan,
kompleksitas masalah dan adaptasi terhadap masalah. Kemampuan empati pendamping
akan membantu dalam menemukan, mengenali dan mengemukakan masalah yang sedang
dialami anak. Seorang pendamping perlu mengenali perubahan-perubahan kecil
apapun yang ada di masyarakat dan segera mengambil kesimpulan dan makna dari
perubahan-perubahan tersebut. Pendamping harus menjauhkan diri dari sikap
generalisasi (stereo type).
Peran pekerja sosial sebagai seorang
pendamping dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum sebagai berikut :
1. Pekerja
Sosial harus memandang anak adalah sebagai korban dan bukan sebagai seorang
pelaku. Anak sebagai korban adalah korban dari perlakuan salah orang dewasa
karena anak belum mengerti dan dalam proses belajar sehingga perlu pendampingan
dari seorang Pekerja Sosial.
2. Dalam
melakukan pendampingan terhadap anak, Pekerja Sosial harus mendengarkan suara
anak dan tidak boleh mendominasi dalam proses pendampingan.
3. Pekerja
Sosial mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan intervensi terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum sehingga perlu melibatkan fihak lain yang
mempunyai interest dalam sebuah jaringan referal system.
F.
Pengertian Pendampingan Sosial
Berdasarkan Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2012 pasal 1
ayat 18, “Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya
selama proses peradilan pidana berlangsung”.
Istilah pendampingan juga terdapat dalam pasal 17
Undang-Undang PKDRT disebutkan bahwa “Relawan Pendamping adalah orang yang
mempunyai keahlian melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan
pemulihan diri korban kekerasan”. Dalam undang-undang tersebut pada pasal 23
menyebutkan peran pendamping adalah sebagai berikut:
a.
Menginformasikan
kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang
pendamping.
b.
Mendampingi
korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan
dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya
c.
Mendengarkan
secara empati segala penuntutan korban sehingga korban merasa aman didampingi
oleh pendamping
d.
Memberikan
dengan aktif penguatan secara psikologus dan fisik kepada korban.
Berdasarkan
Departemen Sosial RI, menyatakan bahwa pendampingan sosial merupakan suatu
proses relasi sosial antara pendamping dengan klien yang bertujuan untuk
memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan
hidup, serta meningkatkan akses klien terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan
kerja, dan fasilitas pelayanan publik lainnya.
Pendamping
atau Pekerja Sosial atau Pembimbing Kemasyarakatan dapat berfungsi mulai dari
proses penyidikan hingga putusan sidang, bekerja dengan memberikan pemahaman
mengenai dirinya, mengenali kekuatan yang dimiliki anak serta mengenal
sumber-sumber lainnya. Selain itu memodifikasi lingkungan menjadi iklim yang kondusif
bagi anak, terutamma lingkungan tempat tinggal anak. Apabila kondisi ini dapat
dicapai anak, maka diharapkan kepada anak untuk lebh percaya diri terhadap
kemampuan yang dimiliki, lebih mampu menghadapi dunia luar serta mampu
menghadapi ‘stigma’ dari masyarakat.
G.
Kebijakan Sosial dan Model Kebijakan Sosial
1. Pengertian
Kebijakan Sosial
Kebijakan
sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam
pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial.
Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan
sosial sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (1992). Menurut Conyers,
perencanaan sosial adalah perencanaan perundang – undangan tentang pelayanan
kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas,
di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa
berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).
Beberapa ahli seperti Marshall, Rein,
Huttman, Magill, Spicker dan Hill juga mengartikan kebijakan sosial dalam
kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial.
Kebijakan sosial merupakan bagian
dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua
kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi,
komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum
lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan suatu tipe kebikan
publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986). Kebijakan sosial adalah kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung
terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau
bantuan keuangan (Marshall, 1965). Kebijakan
sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan
pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970). Kebijakan sosial adalah strategi-strategi,
tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan
memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981).
Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan
(welfare), baik dalam arti luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun
dalam arti sempit, yang menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan
kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (Spicker, 1995). Kebijakan sosial adalah studi mengenai
peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996).
2. Model
Kebijakan Sosial
Dalam
kaitannya dengan kebijakan sosial, model dibuat untuk menjelaskan proses karakteristik,
mekanisme, serta menentukan strategi-strategi kebijakan sosial. Termaasuk juga
untuk menjelaskan tentagn tujuan apa yang hendak dicaai oleh suatu kebijakan,
bentuk pelayanan sosial, dan metode yang efektif dan efisien dalam pemberian
pelayanan sosial. Berikut ini beberapa model kebijakan sosial:
a.
Berdasarkan
Pelaksanaannya
1)
Model
imperatif (kebijakan sosial terpusat), yajni seluruh tujuan-tujuan sosial,
jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial seluruhnya ditentukan oleh
pemerintah.
2)
Model
indikatif’partisipatif, yakni kebijakan sosial yang mengupayakan kesamaan visi
dan aspirasi seluruh masyarakat. Pemerintah hanya menentukan garis besar suatu
kebijakan, sementara pelaksanaannya diserahkan oleh masyarakat atau badan
swasta (LSM atau Orsos).
b.
Berdasarkan
Ruang Lingkup/Cakupannya
1)
Model
universal, yakni kebijakan sosial yang diarahkan untuk mengatu dan memenuhi
kebutuhan pelayanan sosial warga masyarakat secara menyeluruh tanpa membedakan
usia, jenis kelamin, dan status sosial.
2)
Model
selektifitas, yakni kebijakan sosial yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
sosial warga masyarakat tertentu saja, yaitu mereka yang memerlukan/membutuhkan
saja. Misal; beras miskin, Bantuan Langsung Tunai.
c.
Berdasarkan
Keajegan dan Keberlanjutan
1)
Model
residual, yakni kebijakan sosial yang bersifa sementara atau hanya diperlukan
apabila ada sebab-sebab tertentu. Dan ketika sebab atau permasalahan itu telah
teratasi maka kebijakan itu dihentikan. Misal; bantuan finansial untuk korban
bencana alam.
2)
Model
institusional, yakni kebijakan sosial yang bersifat tetap (ajeg) melembaga, dan
berkesinambungan. Misal; kebijakan perumahan, pendidikan, kesehatan.
d.
Berdasarkan
Jenis Permasalahannya (Sasaran)
1)
Model
kategorikal, yakni kebijakan yang hanya difokuskan untuk menangani suatu
permasalahan sosial berdasarkan sektor penanganan tertentu. Misal kebijakan
sosial di bidang ketenagakerjaan, bidang pendidikan, bidang kesehatan.
2)
Model
komprehensif, yakni kebijakan sosial yang bersifat menyeluruh dan dirumuskan
secara terintegrasi dalam formulasi kebijakan sosial yang terpadu. Misal;
Undang-Undang Kesejahteraan Sosial.
Selain
delapan model kebijakan sosial di atas, terdapat pula tiga model kebijakan
sebagai berikut:
a.
Model
Retrospektif
Usulan naskah kebijakan berupa memperbaiki atau revisi
kebijakan yang sudah ada dengan melihat kelemahan dan kendala dari kebijakan
sebelumnya atau yang sudah diterapkan.
b.
Model
Prospektif
Usulan naskah kebijakan berupa mengangkat isu komunitas
yang belum ada kebijakannya yaitu dengan membuat nskah kebijakan baru
berdasarkan masalah sosial aktual yang muncul di dalam masyarakat.
c.
Model
Integratif
Usulan naskah kebijakan dengan melihat kedua sisi mata
uang yaitu memperbaiki atau revisi kebijakan yang sudah ada dengan
menyandingkan isu komunitas berdasarkan masalah sosial aktual hasil kajian atau
penelitian terbaru.
DISINI BROO ENJOY!
DISINI BROO ENJOY!
Lazimnya anak yang berhadapan dengan hukum (abh)di titipkan pada Panti Asuhan, selama menjalani proses persidangan. Permasalahannya adalah apakah kompetensi pekerja sosial di dalam Panti Asuhan, adalah benar-benar pekerja sosial yang sudah Profesional ? hal ini di maksudkan agar hak-hak anak dapat terpenuhi.
ReplyDelete