POLA ASUH ORANG TUA
Pengertian pola asuh
Orang tua
mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik
anak. Menurut (Edwards, 2006), menyatakan bahwa “Pola asuh merupakan interaksi
anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi
anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat”.
Pada
dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang
diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian
penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik.
Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan.
Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan
anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan
maka mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan
tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Pendampingan orang tua
diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara
orang tua mendidik anak nya disebut sebagai pola pengasuhan. Interaksi anak
dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap
paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola
asuh. Disatu sisi orang tua harus bisa menetukan pola asuh yang tepat dalam mempertimbangkan
kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai
keinginan dan harapan untuk membentuk anak menjadi seseorang yang
dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya (Jas dan
Rachmadiana,2004).
Setiap
upaya yang dilakuakan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya
sikap orang tua dalam mengasuh anak meliputi:
1.
Perilaku yang patut dicontoh
Artinya setiap perilaku tidak sekedar perilaku yang bersifat
mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan
lahan peniru dan identifikasi bagi anak-anaknya.
2.
Kesadaran diri
Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendororng mereka agar
perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu orang tua
senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui
komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku
3.
Komunikasi
Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan
anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan
permasalahanya.
Faktor- faktor yang mempengaruhi pola asuh
Adapun
faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah: (Edwards, 2006),
1.
Pendidikan orang tua
Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi
persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain:
terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan
berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk
anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak. Hasil
riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai
pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang
tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang
tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih
siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati
tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2004).
2.
Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil
jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan
orang tua terhadap anaknya.
3.
Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh
anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah
kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat
dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh
anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap
anaknya (Anwar,2000).
Pola Asuh Demokrasi
Pola Asuh
Demokrasi ditandai dengan ciri-ciri suka berdiskusi dengan anak, mau mendengar
keluhan anak, tidak kaku atau luwes, selalu memperhatikan perkembangan anak,
memberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya.
Pola asuh yang menekankan pada pemberian kesempatan terhadap
anak agar tumbuh dan berkembang secara wajar, tetapi penuh dengan pemantauan
dan pengawasan. Anak diberi hak untuk mengeluarkan pendapat, usul, saran dan
inisiatif, tetapi keputusan ada pada pendidi. Hak anak didengar, diharpai dan
diakui karena akan mempunyai kemampuan kelebihan dan sesuatu kekhususan yang mungkin
tidak dimiliki oleh pendidik. Anak mempunyai bakat tertentu yang perlu
dikembangkan. Pada perkembangan selanjutnya anak akan mempunyai rasa percaya
diri dan berkemauan untuk maju seingga merasa optimis dalam menyongsong hari
depannya
Pola Asuh Permisif
Pola asuh yang bersifat lunak, anak
dibiarkan oleh pendidiknya. Anak diberi kebebasan, sehingga akan tumbuh dan
berkembang secara normal. Rambu-rambu yang diberikan oleh pendidik tidak
terlalu banyak bahkan sedikit sekali. Anak boleh mempunyai inisiatif, mencoba
dan usul sesuatu kepada pendidik. Pendidik banyak bersifat masa bodoh. Sehingga
anak dalam berperilaku terdapat kesalahan karena tidak sesuai dengan norma dan
nilai pendidikan. Pengawasan dari pendidik sedikit, sehingga anak merasa tidak
takut, lalu bertindak atas dasar kemauan sendiri.Orang
tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan
kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali, kurang kontrol,
kurang membimbing, kurang tegas, kurang komunikasi, dan tidak peduli
terhadap kelakuan anak
Pola Asuh
Otoriter
Menurut
Edwards (2006), pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan
memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan.
Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan
tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak
apa guna
dan alasan di balik aturan tersebut. Orang tua cenderung menetapkan standar
yang mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Misalnya
kalau tidak mau menuruti apa yang diperintahkan orang tua atau melanggar
peraturan yang dibuat orang tua maka tidak akan diberi uang saku. Orang tua
cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa
yang
dikatakan orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anaknya. Orang tua
ini juga tidak mengenal kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah
dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai
anaknya.
- Faktor yang mempengaruhi pola asuh otoriter.
Orang tua mungkin berpendapat bahwa anak memang harus mengikuti aturan
yang ditetapkannya. Apa pun peraturan yang ditetapkan orang tua semata-mata
demi kebaikan anak. Orang tua tak mau repot-repot berpikir bahwa peraturan yang
kaku seperti itu justru akan menimbulkan serangkaian efek (Marfuah,2010).
- Dampak pola asuh otoriter.
Pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak, seperti ia
merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu
tegang, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan problem solving-nya
buruk), kemampuan komunikasinya buruk, kurang berkembangnya rasa sosial, tidak timbul
kreatif dan keberanianya untuk mengambil keputusan atau berinisiatif, gemar
menetang, suka melanggar norma, kepribadian lemah dan menarik diri. Anak yang
hidup dalam suasana keluarga yang otoriter akan menghambat kepribadian dan
kedewasaannya (Marfuah,2010).
- Upaya dalam menyikapi pola asuh otoriter.
Menurut Edwards (2006), Seharusnya orang tua mengajari anak-anak mereka
dengan empat cara:
a. Memberi contoh. Cara utama untuk mengajari remaja adalah melalui contoh
. Remaja sering kali mudah menyerap apa yang kita lakukan disbanding dengan apa
yang kita katakana. Jika kita mengatakan untuk berbicara dengan sopan kepada
orang lain, tetapi kita masih berbicara kasar kepada mereka, kita telah
menyangkal diri kita sendiri. Perbuatan lebih berpengaruh dibandingkan dengan
kata-kata.
b.
Respon positif. Cara kedua
untuk mengajari remaja adalah melalui respon positif mengenai sikap mereka. Jika kita mengatakan kepada
remaja betapa orang tua menghargai mereka karena telah mengikuti nasehat orang tua,
mereka akan mengulangi sikap tersebut.
c.
Tidak ada respons. Orang tua
juga mengajari remaja dengan cara mengabaikan sikap. Sikap-sikap yang tidak
direspon pada akhirnya cenderung tidak diulangi. Dengan kata lain, mengabaikan
perilaku tertentu bisa jadi mengulani perilaku tersebut, khususnya jika
perilaku-perilaku tersebut bersifat mengganggu.
d.
Hukuman. Menggunakan hukuman
yang relative ringan secara konsisten,seperti menghilangkan hak istimewa atau
melarang kegiatan yang sedang dilakukan, bisa jadi cukup efektif dalam
menghadapi sikap yang sulit dikendalikan. Namun bahkan hukuman ringan tidak
boleh mengalahkan penggunaan pendekatan pengajaran yang lebih positif.
Cara Mengasuh Anak
Cara mengasuh anak sebaiknya
disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, yaitu:
1. Sejak lahir sampai 1 tahun
Dalam
kandungan, anak hidup serba teratur, hangat dan penuh perlindungan. Setelah
dilahirkan, anak sepenuhnya bergantung terutama pada ibu atau pengasuhnya.
Pencapaian pada tahap ini untuk mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya.
Bilarasa percaya tak didapat, maka timbul rasa tak aman, rasa ketakutan dan
kecemasan. Bayi belum bisa bercakap-cakap untuk menyampaikan keinginannya, ia
menanings untuk menarik perhatian orang. Tangisannya menunjukkan bahwa bayi
membutuhkan bantuan. Ibu harus belajar mengerti maksud tangisan bayi. Keadaan
dimana saat bayi membutuhkan bantuan, dan mendapat respon yang sesuai akan
menimbulkan rasa percaya dan aman pada bayi. ASI adalah makanan yang paling
baik untuk bayi. Dengan pemberian ASI seorang, bayi akan didekap ke dada
sehingga merasakan kehangatan tubuh ibu dan didekap ke dada sehingga merasakan
kehangatan tubuh ibu dan terjalinlah hubungan kasih sayang antara bayi dan
ibunya. Segala hal yang dapat mengganggu proses menyusui dalam hubungan ibu
anak pada tahap ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan rasa percaya dan
rasa aman.
2. Usia 1 – 3 tahun
Pada tahap
ini umumnya anak sudah dapat berjalan. Ia mulai menyadari bahwa gerakan
badannya dapat diatur sendiri, dikuasai dan digunakannya untuk suatu maksud.
Tahap ini merupakan tahap pembentukan kepercayaan diri.
Pada tahap
ini, akan tertanam dalam diri anak perasaan otonomi diri, makan sendiri, pakai
baju sendiri dll. Orangtua hendaknya mendorong agar anak dapat bergerak bebas,
menghargai dan meyakini kemampuannya. Usahakan anak mau bermain dengan anak
yang lain untuk mengetahui aturan permainan. Hal ini jadi dasar terbentuknya
rasa yakin pada diri dan harga diri di kemudian hari.
3. Usia 3 – 6 tahun (prasekolah)
Tahap ini
anak dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan kemampuan untuk melakukan
kegiatan yang bertujuan, anak mulai memperhatikan dan beinteraksi dengan dunia
sekitarnya.
Anak
bersifat ingin tahu, banyak bertanya dan meniru kegiatan sekitarnya, libatkan
diri dalam kegiatan bersama dan menunjukkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu
tapi tidak mementingkan hasilnya, mulai melihat adanya perbedaan jenis kelamin
kadang-kadang terpaku pada alam kelaminnya sendiri
Pada tahap
ini ayah punya peran penting bagi anak. Anak laki merasa lebih sayang pada
ibunya dan anak perempuan lebih sayang pada ayhnya. Melalui peristiwa ini anak
dapat mengalami perasaan sayang, benci, iri hati, bersaing, memiliki, dll. Ia
dapat pula mengalami perasaan takut dan cemas. Pada masa ini, kerjasama
ayah-ibu amat penting artinya.
4. Usia 6 – 12 tahun
Pada usia
ini teman sangat penting dan ketrampilan sosial mereka semakin berkembang.
Hubungan mereka menjadi lebih baik dalam berteman, mereka juga mudah untuk
mendekati teman baru dan menjaga hubungan pertemanan yang sudah ada.
Pada usia
ini mereka juga menyukai kegiatan kelompok dan petualangan, keadaan ini terjai
karenaterbentuknya identifikasi peran dan keberanian untuk mengambil risiko.
Orang tua perlu membimbing mereka agar mereka memahami kemampuan mereka yang
sebenarnya dan tidak melakukan tindakan yang berbahaya.
Anak pada
usia ini mulai tertarik dengan masalah seks dan bayi, sehingga orang tua perlu
untuk memberikan informasi yang dianggap sensitive ini secara benar. Dalam
perkembangan ketrampilan mentalnya, mereka dapat mempertahankan ketertarikannya
dalam waktu yang lama dan kemampuan menulis mereka baik. Anak pada usia ini
seringkali senang membaca buku ilmu pengetahuan dan komputer. Mereka menikmati
mencari dan menemukan informasi yang menarik minat mereka.
Anak mulai
melawan orang tuanya, mereka menjadi suka berargumentasi dan tidak suka
melakukan pekerjaan rumah. Orang tua perlu secara bijaksana menjelaskan pada
mereka tugas dan tanggung jawabnya. Keberhasilan pada masa kanak akan terlihat
jika mereka dapat berkarya dan produktif dikemudian hari.
5. Usia 12 – 18 tahun
Masa
remaja bervariasi pada setiap anak, tapi pada umumnya berlangsung antara usia
11 samapi 18 tahun. Di dalam masa remaja pembentukan identitas diri merupakan
salah satu tugas utama, sehingga saat masa remaja selesai sudah terbentuk
identitas diri yang mantap.
Pertanyaan
yang sering pada masa remaja saat pembentukan identitas diri adalah: siapakah
saya? Serta: kemanakah arah hidup saya? Jika masa remaja telah berakhir dan
pertanyaan itu tidak dapat dijawab dan diselesaikan dengan baik, dapat terjadi
apa yang dinamaka ”krisis identitas”. Pada krisis identitas dapat
menimbulkan kebingungan atau kekacauan identitas dirinya. Unsur-unsur yang
memegang peran penting dalam pembentukan identitas diri adalah pembentukan
suatu rasa kemandirian, peran seksual, identifikasi gender dan peran sosial
serta perilaku
Berkembangnya
masa remaja terlihat saat ia mulai mengambil berbagai macam nilai-nilai etik,
baik dari orang tua, remaja lain dan ia menggabungkannya menjadi suatu sistem
nilai dari dirinya sendiri.
Pada masa
remaja, rumah merupakan landasan dasar, sedangkan dunianya adalah sekolah maka
bagi remaja hubungan yang paling penting selain dengan keluarganya adalah
dengan teman sebaya. Pengertian dari rumah sebagai landasan dasar adalah, anak
dalam kehidupan sehari-hari tampaknya ia seolah-olah sangat bergantung kepada
teman sebayanya, tapi sebenarnya ia sangat membutuhkan dukungan dari orang
tuanya yang sekaligus harus berfungsi sebagai pelindung disaat ia mengalami
krisis, baik dalam dirinya atau karena faktor luar. Pada masa ini penting
sekali sikap keluarga yang dapat berempati, mengerti, mendukung dan dapat
bersikap komunikatif dua arah dengan sang remaja dalam pembentukan identitas
diri remaja itu.
Dengan
berakhirnya masa remaja dan memasuki usia dewasa, terbentuklah dalam suatu identitas
diri. Keberhasilan yang diperoleh atau kegagalan yang dialami dalam proses
pencapaian kemandirian merupakan pengaruh dari fase-fase perkembangan
sebelumnya. Kegagalan keluarga dalam memberikan bantuan/dukungan itu secara
memadai, akan berakibat dalam ketidakmampuan anak untuk mengatur dan
mengendalikan kehidupan emosinya. Sedangkan keberhasilan keluarga dalam
pembentukan remaja telah mengambil nilai –nilai etik dari orang tua dan agama,
ia mengambil nilai-nilai apa yang baik bagi dia dan masyarakt at pada umumnya.
Jadi penting bagi orang tua untuk memberi teladan yang baik bagi remaja, dan
bukan hanya menuntut berperilaku baik, tapi orang tua sendiri tidak berbuat
demikian.
Adalah
penting bagi orang tua untuk memahami proses perkembangan psikososial anaknya
agar dapat memahami dan mau mengubah pola asuhnya. Oleh karena itu
diperlukan:
a.
Kemampuan
nalar yang memadai
b.
Kepribadian
orang tua yang fleksibel dan mau mengubah diri
c.
Keharmonisan
perkawinan dan kehidupan berkeluarga
d.
Kepatuhan
dan disiplin
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Eillen & Sue Ingham. (1998).
Changing Places: Children Participation in Environmental Planning. London: The
Children Society.
Christencen, Pia & Margaret O Brien
(edit.). (2003). Children in the City Home,
Buku Panduan Kota Layak Anak di Kota Depok,
BPPKB,2010
Neighbourhood and Community. New York &
London: Routledge Falmer.
Hendricks, Barbara. (2002) “Child Friendly
Environments in the City. di Brescia: Ordine degli Achitetti.
Innocenti Digest. (No.2-Nov.2002). Poverty and
Exclusion Among Urban Children. Florence Italy: UNICEF Innocenti Research
Centre.
IULA&UNICEF. (2001). Partnership to
Create Child Friendly City: Programming for Child Rights with Local
Authorities. Italy: UNICEF Innocenti Research Centre
Patilima, Hamid. (2004). Persepsi Anak Mengenai
Lingkungan Kota Studi Kasus Di Kelurahan Kwitan, Jakarta Pusat. (Tesis).
Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia
Link download KLIK
mau tanya, utk yg edwards 2006 itu dapusnya yang mana ya?
ReplyDeletemakasih
ReplyDeleteThanks infonya. Oiya ngomongin pola asuh, orang tua miliareder Bill Gates ternyata punya cara tersendiri dalam mendidik buah hatinya tersebut, hingga akhirnya dia bisa sukses seperti sekarang ini. Sebagai orang tua, kamu bisa menconteknya loh. Begini cara mengasuhnya: Tips mengasuh anak agar bisa sukses seperti Bill Gates